Rabu, 18 Januari 2012

Pemikiran Keagamaan dan Politik Sunni

Miftahul Khoiriyah

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Kemunculan berbagai aliran dalam Islam dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan Ustman bin ‘affan. Yang kemudian berbuntut pada penolakan Mu’awiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Ketegangan antara Mu’awiyyah dan Ali ini mengkristal dan menjadi perang siffin yang berakhir dengan keputusan tahkim. Yang selanjutnya menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam. Yaitu khawarij, Murjiah dan Mu’tazilah.
Pada perkembangannya, masa pemerintahan Al-Ma’mun dari bani abasiyah, Mu’tazilah yang mendasarkan agama pada Al-Quran dan akal dijadikan sebagai faham resmi Negara. Al-Makmun memaksa semua pejabat Negara dan tokoh-tokoh agama mengikuti faham ini, terutama pada anggapan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Pemaksaan terhadap paham tersebut lebih dikenal dengan sebutan Mihnah atau inquiri atau disebut juga sebagai ujian aqidah terhadap pejabat dan para ulama’.
Kebijakan Mihnah pada masa al-Ma’mun berlangsung sangat ketat, bahkan sampai khalifah Al-Watsiq (227-232 H /842-847 M). Terdapat kejadian yang sangat kejam pada masa pemerintahan Al-Watsiq yang menimpa Ahmad ibn Nashar ibn Malik ibn al-Haitsam al-Kuzdi (salah satu moyangnya pendiri dari Daulah Abbasiyah). Ia menolak untuk meyakini Al-Qur’an adalah mahluk, akhirnya beliau dihukum pancung.
Kebijakan Mihnah bergeser pada paham Ahlussunnah wal Jama’ah saat masa Khalifah al-Mutawahil (232-247 H / 847-861 M). Ia melihat bahwa posisinya sebagai khalifah perlu mendapatkan dukungan mayoritas. Sementara, setelah peristiwa mihnah terjadi mayoritas masyarakat adalah pendukung dan simpatisan Ibnu Hanbal. Oleh karenanya al-Mutawakil membatalkan paham Mu'tazilah sebagai paham negara dan menggantinya dengan paham Sunni.
Kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah setelah berada di bawah pemerintahan khalifah Al-Mutawakkil dan mendominasi kekuasaannya, melakukan upaya pengkonsolidasian diri sebagai aliran. Tindakan-tindakan Sunni adalah sebagai respon balik atas tindakan Mu’tazilah yang telah menyakitinya di masa Mihnah. Pada saat itulah Sunni mulai merumuskan ajaran-ajarannya.
Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan berusaha memaparkan hal-hal yang terkait dengan pemikiran keagamaan dan politik kaum sunni ini. 
B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah Permasalahan dan Kemunculan Sunni?
2.      Bagaimanakah Konsep Ke-Pemimpinan dalam Sunni?
3.      Siapa sajakah tokoh-tokoh Sunni dan Apa Pencapaiannya?
C.      Tujuan Pembahasan
1.      Mengetahui Permasalahan dan Kemunculan Sunni.
2.      Mengetahui Konsep Ke-Pemimpinan dalam Sunni.
3.      Mengetahui Tokoh-tokoh Sunni dan Pencapaiannya


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Kemunculan Sunni dan Permasalahannya
Sunni merupakan paham yang berdasarkan pada tradisi Nabi Muhammad SAW, disamping berdasar pada Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam yang pertama. Sunni lebih di kenal dengan sebutan Ahli Sunnah Wal Jama’ah. Ahlussunnah memiliki makna orang-orang yang mengikuti sunah Nabi, dan wal Jama’ah berarti mayoritas umat. Dengan demikan makna kata Ahlussunah wal Jamaah adalah orang-orang yang mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW dan mayoritas sahabat, baik dalam syariat (hukum agama Islam) maupun aqidah (kepercayaan).
Mr. O.K Rahmat dalam kitaabnya Serba-serbi dalam Islam sebagaimana yang dikutib oleh Mustofa, mengemukakan bahwa Ahli Sunnah Wal Jama’ah ialah orang-orang yang mengikuti cara hidup nabi Muhammad dan golongan terbesar. Paham inilah yang dianut oleh golongan terbesar daripada umat Islam.[1]
Sebutan Ahlussunnah wal Jama’ah belum dikenal pada masa Nabi Muhammad SAW, maupun pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, bahkan sampai masa Bani Umayyah. Istilah tersebut baru muncul pada saat Khalifah Abu Ja’far al-Mansur (137-159 H/ 754-755 M) dan pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid (170-194 H/ 785-809 M). Pada tahap yang kedua Ahlussunnah wal Jama’ah dikenal juga pada saat pemerintahan Abbasiyah, bahkan pada saat Khalifah Al-Ma’mun (198-218 H/ 813-833 M).
Munculnya Aliran Ahlussunnah wal Jama’ah dikarenakan munculnya aliran Mu’tazilah yang lebih mengedepankan akal daripada hukum naqli. Kekacauan yang ditimbulkan oleh Mu’tazilah sangat menyedihkan, terutama dalam masa pemerintahan khalifah al-Makmun (813-833 M), yang menganggap wajib untuk membenarkan I’tiqad yang salah, yang merupakan pokok keyakinan agama, seperti menganggap bahwa Al-Qur’an itu qadim dan bukan makhluk. Dipaksanya tujuh orang ulama’ hadist yang terkenal, yaitu Muhammad bin Sa’ad (wafat 230 H), Abu Muslim Mustamli Jazid ibn Harun, Yahya bin Ma’in (wafat 233 H), Jazari bin Harb, Abu Khaisamah (wafat 234 H), Isma’il ibn Daud dan Isma’il bin Abi Mas’ud dan Ahmad bin Ad-Dauraqi. Dalam sebuah surat perintah kepada Ishak bin Ibrahim, sebelum ia wafat pada tanggal 18 Rajab 218 Hijriyah untuk mengakui bahwa Al-Qur’an itu adalah mahluk dan bukan kalamullah yang qadim. Karena ketakutan semua dari mereka mengakui, hanya Ahmad ibn Hambal yang tidak mau mengakui kalamullah itu Hadist baru. Sehingga beliau harus disiksa sampai terluka dan dalam keadaan pingsan beliau dikirim kepenjara untuk diobati.[2]
Penganiayaan terhadap Ahmad ibnu Hanbal berlanjut hingga masa pemerintahan Al-watsiq. Penganiayaan ini juga terjadi pada seorang alim dan pembesar bernama Ahmad ibn Nashar ibn Malik ibn al-Haitsam al-Kuzdi (salah satu moyangnya pendiri dari Daulah Abbasiyah). Ia menolak untuk meyakini al-Qur’an adalah mahluk, akhirnya beliau dihukum pancung. [3]
Kebijakan Mihnah bergeser pada paham Ahlussunnah wal Jama’ah saat masa Khalifah al-Mutawahil (232-247 H / 847-861 M). Ia melihat bahwa posisinya sebagai khalifah perlu mendapatkan dukungan mayoritas. Sementara, setelah peristiwa mihnah terjadi mayoritas masyarakat adalah pendukung dan simpatisan Ibnu Hanbal. Oleh karenanya al-Mutawakil membatalkan paham Mu'tazilah sebagai paham negara dan menggantinya dengan paham Sunni.
Setelah Watsiq, Mutawakkil (847-861 M) mengubah pemikirannya menjadi terbalik dengan para pendahulunya, dimana madzab Mu’tazilah diasingkan dari Negara dan kemudian digantikan dengan madzab sunni. Pada masa inilah Mu’tazilah menjadi madzab yang dimusuhi. Walaupun demikian, jasa mereka dalam kegiatan intelektual sangat besar. Karena mereka membuka cakrawala pikiran menggunakan rasio dengan logika-logika yang tajam yang sangat dibutuhkan guna memahami ilmu-ilmu lain.[4]
Kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah setelah berada di bawah pemerintahan khalifah Al-Mutawakkil dan mendominasi kekuasaannya, melakukan upaya pengkonsolidasian diri sebagai aliran. Tindakan-tindakan Sunni adalah sebagai respon balik atas tindakan Mu’tazilah yang telah menyakitinya di masa Mihnah. Mereka juga mulai merumuskan ajaran-ajaran Ahlu Sunnah.
Pada masa Dinasti Saljuk berkuasa Posisi dan kedudukan kholifah lebih baik, paling tidak kewibawaannya dalam bidang agama dikembalikan setelah beberapa lama dirampas orang-orang Syi’ah. Meskipun Bagdad dapat dikuasai, namun ia tidak dijadikan sebagai pusat pemerintahannya. Dinasti-dinasti kecil yang sebelumnya memisahkan diri, setelah ditaklukkan dinasti Saljuk ini kembali mengakui kedudukan Bagdad, bahkan mereka terus menjaga keutuhan dan keamanan Abbasiyah untuk membendung paham Syi’ah dan mengembangkan madzab Sunni yang dianut mereka.

B.       Konsep Ke-Pemimpinan dalam Sunni
Nabi Muhammad memang tidak menentukan bagaimana cara pergantian pemimpin setelah ditnggalkannya. Beliau nampaknya memang menyerahkan masalah ini kepada kaum muslimin sejalan dengan jiwa kerakyatan yang berkembang di kalangan masyarakat arab. Dan ajaran demokrasi dala Islam. Dalam perkembangannya proses suksesi kepemimpinan politik dalam sejarah Islam berbeda-beda dari masa ke masa yang lain. Ada yang berlangsung aman dan damai, tetapi sering juga melalui konflik dan pertumpahan darah akibat ambisi tak terkendali dari pihak-pihak tetentu.[5]
Kepemimpinan dalam sunni berbeda dengan Syiah, perbedaannya adalah doktrin Syiah tentang imamah dan konsep Sunni tentang kekholifahan, yang mungkin terlihat tidak penting dan membingungkan non-Muslim, telah menimbulkan konsekuensi- konsekuensi politik yang besar. Kholifah dipilih atau pengganti Nabi yang terpilih. Akan tetapi dia berhasil dalam kepemimpinan politik dan militer tapi bukan dalam otoritas keagamaan nabi. Sebaliknya, kepemimpinan Syiah dalam masyarakat muslim diberikan dalam Imam (pemimpin) yang meskipun bukan seorang Nabi tapi adalah pemimpin agama dan politik yang mendapat ilham Tuhan, terbebas dari dosa dan sempurna. Asal-usunya secara langsung berasal dari nabi Muhammad dan Ali, Imam pertama, dan dengan demikian otoritasnya disucikan.[6]
Tahun 945 kaum sunni telah bergerak kearah kesepakatan yang luas kearah pengakuan terhadap satu sama lain. Setelah 945 mereka harus menghadapi dua masalah baru lainnya. Seorang kepala Negara yang bukan penganut sunni dan seorang khalifah yang tidak mempunyai kekuasaan politik. Bagi ulama’ Sunni khalifah telah memperoleh suatu fungsi baru sebagai penjamin dari keabsahan hokum sunni. Ini menjelaskan mengapa jabatan khalifah atau imam dibahas secara teologis yuridis oleh para penulis sunni, misalnya ahli fiqih al-Mawardi (wafat 1058) dan teolog al-Baqillani (wafat 1013) dan al-Bagdadi (wafat 1037).[7]
Dalam sebuah artikel mengenai buku al-Mawardi, Sir Hamilton Gibb mengajukan teori bahwa al-Mawardi tidak hanya menyatakan tugas-tugas ideal kholifah tetapi juga mengarahkan kepada pemulihan kekuasaan para khalifah. Dan bahwa metodenya termasuk rasionalisasi sejarah masa lalu.[8]
Hal yang terpenting dalam melakukan sebuah pengangkatan adalah persyaratannya. Para ulama’ berbeda pendapat dalam jumlah persyaratan ini, al-Bagdadi menyebutkan jumlahnya sebanyak 4 syarat, jumlah yang sama juga dikatakan oleh Ibnu Khaldun, walaupun  tidak ada kesesuaian dalam redaksi. Sementara al-Ghazali menyebutkannya sebanyak 10 syarat dan menurut al-Mawardi sebanyak 7 syarat.[9] Adapun mengenai persyaratan utama mereka mempunyai persamaan. Sebagian prsayaratan umum tersebut sudah menjadi ijma’, sedangkan sebagian yang lain disepakati oleh suara mayoritas. Persyaratan tersebut adalah :
1.    Berilmu (Kualifikasi ijtihad)
Yang dimaksud dengan kualifikasi ijtihad itu adalah mempunyai ilmu syariat Islam dan hukum-hukumnya beserta sumber-sumber pengambilan hokum, atau pada masa sekarang bisa dikatakan harus mengetahui perundang-undangan Islam.
Sejauh mana ilmu yang harus diketahui oleh seorang pemimpin disini, menurut al-Bagdadi, sedikitnya harus mencapai ukuran seorang mujtahid dalam menentukan halal dan haram serta hokum-hukum lainnya. Menurut Ibn Khaldun, tidak cukup ilmu saja, tetapi harus mampu berijtihad karena taklid dalam hukum termasuk kategori lemah. Sementara seorang pemimpin harus sempurna dalam sifat dan perilakunya. Ibnu khaldun juga menambahkan lagi, persyaratan berilmu cukup jelas kepentingannya. Agar mau menerapkan hokum Allah,kita harus berilmu.barangsiapa yang tidak berilmu tidak akan sah ijtihadnya. Pengarang kitab al-Mawaqif  berkata, orang yang akan memimpin hendaknya orang yang mampu berijtihad dalam hokum, baik asal-usul hokum maupun cabang dari hokum itu sendiri. Dia juga menerangkan, seorang imam harus dapat menegakkan masalah-masalah keagamaan dan mampu mengeluarkan argumentasi serta dapat menghadapi permasalahan yang berhubungan dengan akidah maupun mengeluarkan fatwa sendiri dalam menjawab permasalahan yang ada. Baik secara tekstual atau mengambil istimbat dari beberapa pendapat ulama’ karena misi seorang imam adalah untuk menjaga akidah, menghadapi permusuhan dengan memberikan solusinya yang baik. Tidak akan terpenuhi kemampuan tersebut kecuali dengan syarat memiliki ilmu.
Sedangkan menurut al-Mawardi, makna ijtihad yang diharuskan pada persyaratan seorang yang akan menduduki qadhi-prinsip dasar yang telah ditetapkn oleh mereka, apa-apa yang disyaratkan pada seorang imam disyaratkan juga pada seorang qadhi adalah dia harus mengetahui hokum Islam dan yang bersangkutan dengan kaidah-kaidah utamanya disamping mengetahui cabang-cabang dari keilmuan hokum lainnya.
Dasar hokum Islam itu ada empat, pertama, mempuyai ilmu tentang al-Qur’an yang sesuai dengan hokum-hukum yang berkaitan, mengetahui sunnah nabi baik dari ucapannya maupun perbuatannya. Kedua, mengetahui bagaimana hadist itu diperoleh. Ketiga mengetahui takwil yang telah dipakai oleh para ulama’ salaf, baik itu yang berupa hasil kesepakatan maupun hasil dari berikhtilaf. Keempat mengetahui qiyas untuk mengembalikan suatu hokum, pada dasarnya semula yang diambil dari lafalnya maupun dari hasil kesepakatan mereka seorang mujtahid mampu menemukan sebuah jalan dengan dasar-dasar yang ada. Jika mampu mengetahui ilmu-ilmu tersebut, dia termasuk mujtahid, sebaliknya kalau tidak, dia tidak dapat dikatakan sebagai mujtahid.
2.    Mengetahui Ilmu Politik, Perang dan Administrasi
Para ulama’ mengungkapkan tentang syarat mengetahui ilmu politik, perang dan administrasi dengan redaksi yang berbeda-beda. Menurut Al-Bagdadi mengetahui bentuk perpolitikan dan bak dalam mengurusi permasalahn, mengetahui tingkatan social manusia dan mampu berinteraksi dengan mereka. Tidak meminta pertolongan pada para pekerja kecil untuk mengerjakan tugas yang besar, dan harus benar-benar mengetahui ilmu peperangan. Menurut al-Mawardi seorang pemimpin harus mengetahui politik kepemimpinan dan mampu mengurusi kemaslahatan Negara.
Ibnu Khaldun berpendapat bahwa seorang pemimpin harus memliki keberanian dalam menegakkan ketentuan-ketentuan Tuhan dan siap menghadapi peperangan secara jeli dalam mengatur startegi, mampu membawa rakyat untuk mau berjuang, mengetahui fanatisme dan tipu daya, cukup tangguh menghadapi perpolitikan Negara, sehingga pemimpin benar-benar mampu menjaga agama, berjihad ke medan perang, menegakkan hak-hak yang harus dinikmati oleh rakyat, dan terakhir mampu mengatur kemaslahatan umat.
Persyaratan itu dapat diterjmahkan bahwa seorang pemimpin harus mempunyai wawasan luas dalam urusan perpolitikan, perang dan administrasi. Karena dengan ketiga aspek tersebut dia dapat melakukan tugasnya sebagai seorang pemimpin.
3.    Kondisi Jiwa dan Raga yang baik
Al-Mawardi menyebutkan bahwa syarat ini harus terpenuhi , berani dan mampu menolong yang akan dapat dipakai dalam melindungi hal-hal yang penting dan jihad melawan musuh. Imam al-Haramain berpendapat, Syarat-syarat dari seorang pemimpin adalah harus mau menghadapi berbagai permasalahan dan mengantisipasinya dengan cepat, cekatan dalam mempersiapkan militer untuk menghadapi musuh dan mempunyai pandangan yang jernih bagi kepentingan rakyat. Dia tidak mengikuti hawa nafsu yang mengakibatkan ketidakjelian dalam mengawasi kenegaraan. Dan cukup keras memperjuangkan tegaknya hukum-hukum Tuhan.
Sedangkan yang dimaksud dengan sehat badan adalah sehat pancaindera dan anggota badan yang dapat mempengaruhi etos kerja. Ibnu Khaldun lebih luas dalam mendefinisikan hal ini daripada ulama’ yang lain yakni selamat pancaindra dan badan dari kelemahan yang mengakibatkan hilangnya salah satu anggota badan, seperti hilangnya tangan dan kaki. Persyaratan tersebut diberlakukan agar pekerjaannya sempurna. Definisi Ibnu Khaldun ini dapat melengkapi definisi yang diuraikan oleh al-Mawardi.
4.    Berlaku adil dan berakhlak Mulia
Berlaku adil dan berakhlak mulia dalam pandangan Ulama’ fiqih identik dengan makna takwa. Kemudian para ulama’ menambah kata wara’ yang muatannya harus terealisasikan dalam jiwa seorang pemimpin. Menurut al-Mawardi para pemimpin dikenai persyaratan sebanyak tujuh syarat, diantaranya adalah berlaku adil dengan sekian persyaratan yang bersifat integral. Bagian ini dianggapnya sebagai syarat pertama yang telah dijelaskan oleh al-Mawardi dalam Al-Ahkamus Sulthoniyah bab qadhi, yang berbunyi berlaku adil harus benar-benar, apa yang diucapkannya dapat dipercaya dan menjauhi perbuatan dosa, tidak melakukan perbuatan yang terlarang serta menghindari perbuatan yang memunculkan keraguan. Selain itu juga mencari keridhaan dan menahan timbulnya kemarahan, dapat dijadikan contoh bagi agamanya dan dunianya. Berarti seorang pemimpin bukan saja dilarang melakukan yang diharamkan oleh hokum, melainkan juga harus menjauhi permasalahan yang masih belum jelas hukumnya.
Menurut ibnu Khaldun berlaku adil adalah keharusan dalam menduduki jabatan yang berhubungan dengan kedudukan keagamaan. Dalam kepemimpinan pun yang bersifat luas, diharuskan terpenuhi persyaratan itu. Dia menambahkan lagi bahwa tidak ada perbedaan dalam berperilaku adil, baik yang terjadi dalam pelanggaran karena melakukan sesuatu yang terlarang dan semisalnya, begitu juga adanya perbuatan bid’ah terhadap akidah.
Menurut al-Ghazali, dia menyebutkan salah satu persyaratannya adalah wara’. Ini adalah sifat yang paling luhur dan tinggi. sifat pribadi seorang yang dapat dicapai begitu saja, seperti yang lainnya, dia mengatakan lagi bahwa wara’ adalah dasar utama, dengan sifat inilah seorang pemimpin melaksanakan kepemimpinannya. Tidak ada lagi selain wara’ dalam syarat kepemimpinan yang menjadi modal utama yang sangat esensial. Kalau tidak terhiasi oleh wara’, seorang pemimpin tidak dapat merealisasikan kepercayaan dengan baik.
Dengan keadilan yang telah disampaikan oleh para ulama’ klasik di atas, seorang pemimpin akan terhindar dari perbuatan kecurangan dalam melaksanakan kekuasaan yang dipegangnya, baik yang berhubungan dengan keuangan, kebebasan, atau hak untuk menyampaikan pendapat dari rakyat terhadap pemimpin serta hak-hak lainnya dalam mengingatkan seorang peimpin dari perbuatan dholim terhadap rakyat, tidak konsekuen dengan perkataan yang pernah diucapkannya atau menyalahi perbuatan yang telah dikerjakan.
5.    Memiliki kualifikasi kepemimpinan yang penuh
Syarat berikut ini meliputi beberapa syarat, dia harus seorang muslim, bebas, laki-laki dan berakal. Dengan persyaratan tersebut seorang pemimpin dapat dikatakan memiliki kualifikasi kepemimpinan yang penuh.
Islam adalah persyaratan utama yang menentukan keabsahan kesaksian dan dan kepemimpinan, sebagaimana difirmankan Allah :
tûïÏ%©!$# tbqÝÁ­/uŽtItƒ öNä3Î/ bÎ*sù tb%x. öNä3s9 Óx÷Fsù z`ÏiB «!$# (#þqä9$s% óOs9r& `ä3tR öNä3yè¨B bÎ)ur tb%x. tûï̍Ïÿ»s3ù=Ï9 Ò=ŠÅÁtR (#þqä9$s% óOs9r& øŒÈqóstGó¡tR öNä3øn=tæ Nä3÷èuZôJtRur z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$# 4 ª!$$sù ãNä3øts öNà6oY÷t/ tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# 3 `s9ur Ÿ@yèøgs ª!$# tûï̍Ïÿ»s3ù=Ï9 n?tã tûüÏZÏB÷sçRùQ$# ¸xÎ6y . 
(yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah Kami (turut berperang) beserta kamu ?" dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah Kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.
Ibnu Hazam telah mengomentari ayat tersebut dengan mengatakan, Keimanan adalah jalan yang besar, diberlakukannya syarat ini cukup realistis dan jelas, mengingat tujuan utama dari kedudukan imam adalah untuk menerapkan hokum Islam.
Mengenai kebebasan, orang yang tidak bebas (budak) termasuk memiliki kekurangan dalam syarat kepemimpinan terhadap orang lain. Karena seorang budak tidak akan diterima menjadi saksi apapun dalam berbagai kepentingan. Dengan sendirinya dia dilarang melaksanakan sebuah tugas kepemimpinan dan menduduki kekuasaan lainnya. Dia baru boleh mendapat hak menjadi seorang pemimpin jika telah dibebaskan dari ststus sosialnya. Kemudian dia dapat menikmati hak-hak untuk memegang kekuasaan. Sejarah masa lalunya tidak mempengaruhi kedudukannya setelah dibebaskan.
Berjenis kelamin laki-laki, sebagian fuqaha mengatakan bahwa perempuan juga mempppunyai kekurangan dalam hierarki kepemimpinan. Walaupun perkataan mereka dapat menentukan keputusan hokum. Padahal Abu Hanifah membolehkan kaum perempuan menjadi hakim dalam posisi bahwa peradilan tersebut adalah salah satu kepemimpinan yang terbesar dalam perkara-perkara yang menerima kesaksian mereka. Dan dilarang dalam perkara-perkara yang tidak menerima kesaksiannya. Dilain puhak at-Thabari memperbolehkan mereka menjadi hakim dalam semua perkara tanpa pengecualian. Akan tetapi bila dalam peradilan ada perbedaan diantara mereka, dalam masalah keimamahan yang terjadi adalah sebaliknya. Semua sepakat bahwa perempuan tidak boleh menduduki kursi keimamahan. Reevansinya karena kedudukan tersebut menuntut seorabf perempuan untuk mengerjakan bberapa tugas yang riskan dan menanggung beban yang sangat berat. Terkadang seorang imam diharuskan memimpin perang, menempuh kesulitan besar dan turun tangan sendiri dimedan perang atau pekerjaan-pekerjaan lain yang semacam itu. Semua itu berada di luar batas kemampuan seorang perempuan.
Kedewasaan, seorang anak kecil tidak dapat dibebani untuk menduduki jabatan seperti pembahasan di atas. Al Mawardi mengatakan, Orang yang tidak dewasa tidak dikenai tanggungan dan hukuman yang berlaku. Lebih utamanya seorang anak kecil tidak masuk dalam persyaratan kepemimpinan. Sebagaimana yang di ungkapkan oleh Ibnu Hazam, bahwa seluruh golongan keagamaan tidak memperbolehkan serang perempuan menduduki kepemimpinan yang tertinggi, begitu juga dengan anak kecil tidak diperkenankan.
Berakal, secara jelas para ulama’ telah bersepakat dalam masalah kepemimpinan berakal adalah suatu yang disyartkan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Mawardi bahwa tidak cukup hanya dengan akal yang berhubungan dengan kewajiban, tetapi harus mampu mengetahui hal-hal yang sangat urgen. Sehingga dapat membedakan dengan seksama semua permasalahan yang ada, terhindar dari dorongan hawa nafsu maupun lupa. Dengan kepandaian dia dapat menjelaskan permasalah dan menyimpulkan yang bercerai berai.  Seakan beliau ingin berkata bahwa yang dimaksudkan dengan syarat ini bukan sekedar tamyiz, melainkan juga kecerdasan dan kecerdikan.[10]
6.    Keturunan
Seorang imam harus berasal dari keturunan Quraisy. Persyaratan sebelumnya, secara keseluruhan telah disepakati keberadaanny. Namun dalam syarat yang satu ini, para ulama’ Ahlu sunnah berpendapat sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh as-Syafi’I bahwa beliau telah menyebutkan permasalahan keturunan dalam beberapa karyanya. Hal itu diriwayatkan juga oleh Zarqani dari Abu Hanifah. Akan tetapi al-baqillani yang merupakan pemuka aliran Asy’ari dan tokoh Ahlu Sunnah abad IV termasuk orang pertama yang menolak persyaratan keturunan dari kaum Quraisy. Kemudian diikuti oleh yang lainnya lagi. Dan ibnu Khaldun sendiri dapat dimasukkan dalam kelompok ini karena berumuskan sebuah teori baru dalam menafsirkan syarat ini yaitu sebuah penafsiran yang bernilai histori.
Alasan utama Ahlu Sunnah cukup kuat berpegang pada berpegang pada keutamaan kaum Quraisy karena mereka melihat sebuah hadist yang sahih menurutnya, yang di antaranya berbunyi, “ para imam adalah dari Quraisy”, “Urusan pemerintahan ini tetap berada di tangan keturunan Quraisy selama mereka masih beristiqomah atau masih menegakkan ajaran agama,” juga “Dahulukan kaum Quraisy dan Janganlah mendahulukan yang lainnya atasnya.” Namun dari sisi lain kita melihat ada sebagian hadist atau berita lain yang disampaikan oleh para ulama’ Islam yang tidak mengandung makna seperti tadi. Sebagaimana Hadist yang Rasulullah yang berarti, “dengarkan dan taatilah walaupun seandainya yang memimpin kamu semua adalah seorang hamba Habsy Dzu Zabilah”.
Umar bin Khatab r.a berkata, “Seandainya Salim Maula Hudzaifah hidup, akan saya angkat dia untuk menduduki kekuasaan, atau tidak akan ada keraguan dalam hatiku akan reputasinya.” Kaum Ahlu Sunnah yang berpendapat dengan pendapat pertama menakwilkan hadis terakhir ini atau lainnya. Sebagai contoh adalah yang bertujuan melebihkan untuk mempertegas, mendengar dan taatnya atau karena berhubungan dengan kekuasaan yang kecil cakupannya tanpa mencukupi kekuasaan umum. Atau karena mereka menilai bahwa cap budak yang diberikan kepada mereka berdasarkan status mereka dahulu, bukan dalam status yang disandangnya sekarang.[11]
Cukup jelas bagaimana kaum Ahlu Sunnah berpegang teguh pada prinsip agar persyaratan seorang pemimpin harus dari Quraisy.

C.      Tokoh-tokoh Sunni dan Pencapaiannya
Banyak sekali tokoh-tokoh para ulama’ dan Ilmuwan muslim pada masa pemerintahan Abasiyah yang berpegang teguh pada Sunnah Nabi Muhammad SAW. (sunni) mereka telah banyak menelurkan karya-karyanya.
Tokoh-tokoh terkenal dalam bidang filsafat adalah Al-Farabi, Al-‘Arabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rusdy. Al-Farabi banyak menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles. Ibnu Sina juga banyak mengarang buku tentang filsafat, dan yang paling terkenal diantaranya adalah al-Syifa, Ibnu Rusyd yang di barat lebih dikenal dengan nama Averrous, banyak berpengaruh di barat dalam bidang filsafa, sehingga disana terdapat aliran yang disebut Averroisme.[12]
Sebagaimana juga Al-Syafi'i munyusun Ushul Fiqh yang di dalamnya mengandung ajaran tentang Ijma' dan Qiyas. Dalam bidang Hadist lahir tokoh Bukhari dan Muslim. Dalam bidang Tafsir, lahir Al-Tabbari dan Ibn Mujahid.
Al-Ghazali, pencapaian-pencapaian al-Ghozali dapat disimpulkan menjadi tiga kategori :
a. Dialah yang mendefinisikan sikap Islam Sunni terhadap filsafat, dengan  mmperlihatkan bahwa beberapa disiplin filsafat harus ditolak sama sekali. Adapun seperti logika dapat dipakai sebagai pelengkap teologi.
b.  Dia  berperan dalam kekalahan intelektual Ismailisme.
c. Dia berperan penting dalam membuat sufisme sebagai bahan rujukan dalam Islam Sunni. Dalam keyakinan dan prakteknya, dia menunjukkan dalam Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama (Ihya’ ulum al-din) dan dalam kesempatan-kesempatan lain bahwa kepatuhan pada kewajiban-kewajibanIslam sehari-hari bisa merupakan suatu dasar yang berguna bagi kehidupan seorang sufi.[13]
Adapun tokoh-tokoh Sunni yang lainnya masih sangat banyak, diantaranya adalah ibnu Taimiyah, Al-Mawardi, Ahmad ibn Hambal dan yang lainnya. Yang tidak dapat kami sampaikan satu-persatu pencapaian ataupun hasil karya yang telah dihasilkannya.
Demikianlah kemajuan politik dan kebudayaan yang pernah dicapai pemerintahan Islam pada masa klasik, kemajuan politik berjalan seiring dengan kemajuan peradapan dan kebudayaan, sehingga Islam mencapai masa keemasan, terutama pada masa pemerintahan bani Abbas periode pertama.

BAB III
KESIMPULAN

Pada masa kekhalifahan al-Ma’mun Mu’tazilah dijadikan sebagai mazhab resmi negara. Al-Ma’mun memaksa semua pejabat negara dan tokoh-tokoh agama mengikuti paham ini, terutama yang berkaitan dengan anggapan bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Pemaksaan terhadap paham tersebut lebih dikenal dengan sebutan Mihnah disebut juga inquiri atau ujian aqidah terhadap pejabat dan para ulama Kebijakan Mihnah pada masa al-Ma’mun berlangsung sangat ketat, bahkan sampai khalifah al-Watsiq (227-232 H /842-847 M). 
Kebijakan Mihnah bergeser pada paham Ahlussunnah wal Jama’ah saat masa Khalifah al-Mutawahil (232-247 H / 847-861 M). Ia melihat bahwa posisinya sebagai khalifah perlu mendapatkan dukungan mayoritas. Sementara, setelah peristiwa mihnah terjadi mayoritas masyarakat adalah pendukung dan simpatisan Ibnu Hanbal. Oleh karenanya al-Mutawakil membatalkan paham Mu'tazilah sebagai paham negara dan menggantinya dengan paham Sunni.
Dalam kaitannya dalam melakukan sebuah pengangkatan khalifah adalah memenuhi persyaratannya. Para ulama’ sunni berbeda pendapat dalam jumlah persyaratan ini, al-Bagdadi menyebutkan jumlahnya sebanyak 4 syarat, jumlah yang sama juga dikatakan oleh Ibnu Khaldun, walaupun  tidak ada kesesuaian dalam redaksi. Sementara al-Ghazali menyebutkannya sebanyak 10 syarat dan menurut al-Mawardi sebanyak 7 syarat. Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat untuk menjadi pemimpin adalah berilmu (kualfikasi Ijtihad), Mengetahui Ilmu Politik, Perang dan Administrasi, Kondisi Jiwa dan Raga yang baik, Berlaku adil dan berakhlak mulia, memiliki kualifikasi kepemimpinan yang penuh dan yang terakhir adalah keturunan dari kaum Quraisy.
Banyak tokoh-tokoh Sunni yang telah berhasil merumuskan pemikiran-pemikirannya yang mencakup tentang filsafat, tafsir, Hadist dan yang lainnya. Sebagai kekayaan keilmuwan yang ada pada masa itu dan dapat digunakan di masa sekarang, walaupun terkadang tidak harus dimaknai secara tekstual.


[1] A. Mustofa. Filsafat Islam. (Bandung : CV Pustaka Setia, 1997), h. 92
[2] A. Mustofa. Filsafat Islam…h. 84
[3] Ibid, h. 85. Lihat juga dalam Ibnu Hajar, Thabaqat Syafi’iyah dan Tarikh Khalifah-khalifah Islam.
[4] M. abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradapan Islam, (Yogyakarta : Pustaka book Publissher, 2007), h. 174
[5] Badri Yatim, Sejarah Peradapan Islam. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000), h. 67
[6] Akbar S. Ahmed, Rekonstruksi sejarah Islam, (Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru, 2003), h. 72
[7] W . Montgomery Watt, Kejayaan Islam : Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis. (Yogyakarta : Tiara acana, 1990), h. 223
[8] Ibid. h. 224
[9] M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, Terjemah oleh Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta : Gema Insani Press, 2001), h. 231
[10] Ibid, h. 231-239
[11] Ibid, h. 242
[12] Badri Yatim, Sejarah Peradapan Islam…h. 99
[13] W . Montgomery Watt, Kejayaan Islam : Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis…h. 262

Tidak ada komentar:

Posting Komentar