BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kemunculan berbagai
aliran dalam Islam dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut peristiwa
pembunuhan Ustman bin ‘affan. Yang kemudian berbuntut pada penolakan Mu’awiyah
atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Ketegangan antara Mu’awiyyah dan Ali ini
mengkristal dan menjadi perang siffin yang berakhir dengan keputusan
tahkim. Yang selanjutnya menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam. Yaitu
khawarij, Murjiah dan Mu’tazilah.
Pada perkembangannya,
masa pemerintahan Al-Ma’mun dari bani abasiyah, Mu’tazilah yang mendasarkan
agama pada Al-Quran dan akal dijadikan sebagai faham resmi Negara. Al-Makmun memaksa
semua pejabat Negara dan tokoh-tokoh agama mengikuti faham ini, terutama pada
anggapan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Pemaksaan terhadap paham tersebut
lebih dikenal dengan sebutan Mihnah atau inquiri atau disebut juga sebagai ujian
aqidah terhadap pejabat dan para ulama’.
Kebijakan Mihnah pada
masa al-Ma’mun berlangsung sangat ketat, bahkan sampai khalifah Al-Watsiq (227-232
H /842-847 M). Terdapat kejadian yang sangat kejam pada masa pemerintahan Al-Watsiq
yang menimpa Ahmad ibn Nashar ibn Malik ibn al-Haitsam al-Kuzdi (salah satu
moyangnya pendiri dari Daulah Abbasiyah). Ia menolak untuk meyakini Al-Qur’an
adalah mahluk, akhirnya beliau dihukum pancung.
Kebijakan Mihnah
bergeser pada paham Ahlussunnah wal Jama’ah saat masa Khalifah al-Mutawahil
(232-247 H / 847-861 M). Ia melihat bahwa posisinya sebagai khalifah perlu
mendapatkan dukungan mayoritas. Sementara, setelah peristiwa mihnah terjadi
mayoritas masyarakat adalah pendukung dan simpatisan Ibnu Hanbal. Oleh
karenanya al-Mutawakil membatalkan paham Mu'tazilah sebagai paham negara dan
menggantinya dengan paham Sunni.
Kalangan Ahlussunnah
wal Jama’ah setelah berada di bawah pemerintahan khalifah Al-Mutawakkil dan
mendominasi kekuasaannya, melakukan upaya pengkonsolidasian diri sebagai
aliran. Tindakan-tindakan Sunni adalah sebagai respon balik atas tindakan
Mu’tazilah yang telah menyakitinya di masa Mihnah. Pada saat itulah Sunni mulai
merumuskan ajaran-ajarannya.
Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan berusaha memaparkan hal-hal
yang terkait dengan pemikiran keagamaan dan politik kaum sunni ini.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Permasalahan dan Kemunculan Sunni?
2. Bagaimanakah Konsep Ke-Pemimpinan dalam Sunni?
3. Siapa sajakah tokoh-tokoh Sunni dan Apa Pencapaiannya?
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Mengetahui Permasalahan dan
Kemunculan Sunni.
2.
Mengetahui Konsep Ke-Pemimpinan
dalam Sunni.
3.
Mengetahui Tokoh-tokoh Sunni dan Pencapaiannya
PEMBAHASAN
A.
Kemunculan Sunni dan
Permasalahannya
Sunni merupakan paham
yang berdasarkan pada tradisi Nabi Muhammad SAW, disamping berdasar pada
Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam yang pertama. Sunni lebih di kenal dengan
sebutan Ahli Sunnah Wal Jama’ah. Ahlussunnah memiliki makna orang-orang yang
mengikuti sunah Nabi, dan wal Jama’ah berarti mayoritas umat. Dengan demikan
makna kata Ahlussunah wal Jamaah adalah orang-orang yang mengikuti sunah Nabi
Muhammad SAW dan mayoritas sahabat, baik dalam syariat (hukum agama Islam)
maupun aqidah (kepercayaan).
Mr. O.K Rahmat dalam
kitaabnya Serba-serbi dalam Islam sebagaimana yang dikutib oleh Mustofa,
mengemukakan bahwa Ahli Sunnah Wal Jama’ah ialah orang-orang yang mengikuti
cara hidup nabi Muhammad dan golongan terbesar. Paham inilah yang dianut oleh
golongan terbesar daripada umat Islam.[1]
Sebutan Ahlussunnah wal
Jama’ah belum dikenal pada masa Nabi Muhammad SAW, maupun pada masa
pemerintahan Khulafaur Rasyidin, bahkan sampai masa Bani Umayyah. Istilah
tersebut baru muncul pada saat Khalifah Abu Ja’far al-Mansur (137-159 H/
754-755 M) dan pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid (170-194 H/ 785-809 M).
Pada tahap yang kedua Ahlussunnah wal Jama’ah dikenal juga pada saat
pemerintahan Abbasiyah, bahkan pada saat Khalifah Al-Ma’mun (198-218 H/ 813-833
M).
Munculnya Aliran
Ahlussunnah wal Jama’ah dikarenakan munculnya aliran Mu’tazilah yang lebih
mengedepankan akal daripada hukum naqli. Kekacauan yang ditimbulkan oleh
Mu’tazilah sangat menyedihkan, terutama dalam masa pemerintahan khalifah
al-Makmun (813-833 M), yang menganggap wajib untuk membenarkan I’tiqad yang
salah, yang merupakan pokok keyakinan agama, seperti menganggap bahwa Al-Qur’an
itu qadim dan bukan makhluk. Dipaksanya tujuh orang ulama’ hadist yang
terkenal, yaitu Muhammad bin Sa’ad (wafat 230 H), Abu Muslim Mustamli Jazid ibn
Harun, Yahya bin Ma’in (wafat 233 H), Jazari bin Harb, Abu Khaisamah (wafat 234
H), Isma’il ibn Daud dan Isma’il bin Abi Mas’ud dan Ahmad bin Ad-Dauraqi. Dalam
sebuah surat perintah kepada Ishak bin Ibrahim, sebelum ia wafat pada tanggal
18 Rajab 218 Hijriyah untuk mengakui bahwa Al-Qur’an itu adalah mahluk dan
bukan kalamullah yang qadim. Karena ketakutan semua dari mereka mengakui, hanya
Ahmad ibn Hambal yang tidak mau mengakui kalamullah itu Hadist baru. Sehingga
beliau harus disiksa sampai terluka dan dalam keadaan pingsan beliau dikirim
kepenjara untuk diobati.[2]
Penganiayaan terhadap
Ahmad ibnu Hanbal berlanjut hingga masa pemerintahan Al-watsiq. Penganiayaan
ini juga terjadi pada seorang alim dan pembesar bernama Ahmad ibn Nashar ibn
Malik ibn al-Haitsam al-Kuzdi (salah satu moyangnya pendiri dari Daulah
Abbasiyah). Ia menolak untuk meyakini al-Qur’an adalah mahluk, akhirnya beliau
dihukum pancung. [3]
Kebijakan Mihnah
bergeser pada paham Ahlussunnah wal Jama’ah saat masa Khalifah al-Mutawahil
(232-247 H / 847-861 M). Ia melihat bahwa posisinya sebagai khalifah perlu
mendapatkan dukungan mayoritas. Sementara, setelah peristiwa mihnah terjadi
mayoritas masyarakat adalah pendukung dan simpatisan Ibnu Hanbal. Oleh
karenanya al-Mutawakil membatalkan paham Mu'tazilah sebagai paham negara dan
menggantinya dengan paham Sunni.
Setelah Watsiq, Mutawakkil (847-861 M)
mengubah pemikirannya menjadi terbalik dengan para pendahulunya, dimana madzab
Mu’tazilah diasingkan dari Negara dan kemudian digantikan dengan madzab sunni.
Pada masa inilah Mu’tazilah menjadi madzab yang dimusuhi. Walaupun demikian,
jasa mereka dalam kegiatan intelektual sangat besar. Karena mereka membuka cakrawala
pikiran menggunakan rasio dengan logika-logika yang tajam yang sangat
dibutuhkan guna memahami ilmu-ilmu lain.[4]
Kalangan Ahlussunnah
wal Jama’ah setelah berada di bawah pemerintahan khalifah Al-Mutawakkil dan
mendominasi kekuasaannya, melakukan upaya pengkonsolidasian diri sebagai
aliran. Tindakan-tindakan Sunni adalah sebagai respon balik atas tindakan
Mu’tazilah yang telah menyakitinya di masa Mihnah. Mereka juga mulai merumuskan
ajaran-ajaran Ahlu Sunnah.
Pada masa Dinasti
Saljuk berkuasa Posisi dan kedudukan kholifah lebih baik, paling tidak
kewibawaannya dalam bidang agama dikembalikan setelah beberapa lama dirampas
orang-orang Syi’ah. Meskipun Bagdad dapat dikuasai, namun ia tidak dijadikan
sebagai pusat pemerintahannya. Dinasti-dinasti kecil yang sebelumnya memisahkan
diri, setelah ditaklukkan dinasti Saljuk ini kembali mengakui kedudukan Bagdad,
bahkan mereka terus menjaga keutuhan dan keamanan Abbasiyah untuk membendung
paham Syi’ah dan mengembangkan madzab Sunni yang dianut mereka.
B.
Konsep Ke-Pemimpinan dalam
Sunni
Nabi Muhammad memang
tidak menentukan bagaimana cara pergantian pemimpin setelah ditnggalkannya.
Beliau nampaknya memang menyerahkan masalah ini kepada kaum muslimin sejalan
dengan jiwa kerakyatan yang berkembang di kalangan masyarakat arab. Dan ajaran
demokrasi dala Islam. Dalam perkembangannya proses suksesi kepemimpinan politik
dalam sejarah Islam berbeda-beda dari masa ke masa yang lain. Ada yang
berlangsung aman dan damai, tetapi sering juga melalui konflik dan pertumpahan
darah akibat ambisi tak terkendali dari pihak-pihak tetentu.[5]
Kepemimpinan dalam
sunni berbeda dengan Syiah, perbedaannya adalah doktrin Syiah tentang imamah
dan konsep Sunni tentang kekholifahan, yang mungkin terlihat tidak penting dan
membingungkan non-Muslim, telah menimbulkan konsekuensi- konsekuensi politik
yang besar. Kholifah dipilih atau pengganti Nabi yang terpilih. Akan tetapi dia
berhasil dalam kepemimpinan politik dan militer tapi bukan dalam otoritas
keagamaan nabi. Sebaliknya, kepemimpinan Syiah dalam masyarakat muslim
diberikan dalam Imam (pemimpin) yang meskipun bukan seorang Nabi tapi adalah
pemimpin agama dan politik yang mendapat ilham Tuhan, terbebas dari dosa dan
sempurna. Asal-usunya secara langsung berasal dari nabi Muhammad dan Ali, Imam
pertama, dan dengan demikian otoritasnya disucikan.[6]
Tahun 945 kaum sunni
telah bergerak kearah kesepakatan yang luas kearah pengakuan terhadap satu sama
lain. Setelah 945 mereka harus menghadapi dua masalah baru lainnya. Seorang
kepala Negara yang bukan penganut sunni dan seorang khalifah yang tidak
mempunyai kekuasaan politik. Bagi ulama’ Sunni khalifah telah memperoleh suatu
fungsi baru sebagai penjamin dari keabsahan hokum sunni. Ini menjelaskan
mengapa jabatan khalifah atau imam dibahas secara teologis yuridis oleh para
penulis sunni, misalnya ahli fiqih al-Mawardi (wafat 1058) dan teolog
al-Baqillani (wafat 1013) dan al-Bagdadi (wafat 1037).[7]
Dalam sebuah artikel
mengenai buku al-Mawardi, Sir Hamilton Gibb mengajukan teori bahwa al-Mawardi
tidak hanya menyatakan tugas-tugas ideal kholifah tetapi juga mengarahkan
kepada pemulihan kekuasaan para khalifah. Dan bahwa metodenya termasuk
rasionalisasi sejarah masa lalu.[8]
Hal yang terpenting
dalam melakukan sebuah pengangkatan adalah persyaratannya. Para ulama’ berbeda
pendapat dalam jumlah persyaratan ini, al-Bagdadi menyebutkan jumlahnya
sebanyak 4 syarat, jumlah yang sama juga dikatakan oleh Ibnu Khaldun,
walaupun tidak ada kesesuaian dalam
redaksi. Sementara al-Ghazali menyebutkannya sebanyak 10 syarat dan menurut
al-Mawardi sebanyak 7 syarat.[9]
Adapun mengenai persyaratan utama mereka mempunyai persamaan. Sebagian
prsayaratan umum tersebut sudah menjadi ijma’, sedangkan sebagian yang lain
disepakati oleh suara mayoritas. Persyaratan tersebut adalah :
1. Berilmu (Kualifikasi ijtihad)
Yang
dimaksud dengan kualifikasi ijtihad itu adalah mempunyai ilmu syariat Islam dan
hukum-hukumnya beserta sumber-sumber pengambilan hokum, atau pada masa sekarang
bisa dikatakan harus mengetahui perundang-undangan Islam.
Sejauh
mana ilmu yang harus diketahui oleh seorang pemimpin disini, menurut
al-Bagdadi, sedikitnya harus mencapai ukuran seorang mujtahid dalam menentukan
halal dan haram serta hokum-hukum lainnya. Menurut Ibn Khaldun, tidak cukup
ilmu saja, tetapi harus mampu berijtihad karena taklid dalam hukum termasuk
kategori lemah. Sementara seorang pemimpin harus sempurna dalam sifat dan
perilakunya. Ibnu khaldun juga menambahkan lagi, persyaratan berilmu cukup
jelas kepentingannya. Agar mau menerapkan hokum Allah,kita harus
berilmu.barangsiapa yang tidak berilmu tidak akan sah ijtihadnya. Pengarang
kitab al-Mawaqif berkata, orang
yang akan memimpin hendaknya orang yang mampu berijtihad dalam hokum, baik
asal-usul hokum maupun cabang dari hokum itu sendiri. Dia juga menerangkan,
seorang imam harus dapat menegakkan masalah-masalah keagamaan dan mampu
mengeluarkan argumentasi serta dapat menghadapi permasalahan yang berhubungan
dengan akidah maupun mengeluarkan fatwa sendiri dalam menjawab permasalahan
yang ada. Baik secara tekstual atau mengambil istimbat dari beberapa pendapat
ulama’ karena misi seorang imam adalah untuk menjaga akidah, menghadapi
permusuhan dengan memberikan solusinya yang baik. Tidak akan terpenuhi
kemampuan tersebut kecuali dengan syarat memiliki ilmu.
Sedangkan
menurut al-Mawardi, makna ijtihad yang diharuskan pada persyaratan seorang yang
akan menduduki qadhi-prinsip dasar yang telah ditetapkn oleh mereka, apa-apa
yang disyaratkan pada seorang imam disyaratkan juga pada seorang qadhi adalah
dia harus mengetahui hokum Islam dan yang bersangkutan dengan kaidah-kaidah
utamanya disamping mengetahui cabang-cabang dari keilmuan hokum lainnya.
Dasar
hokum Islam itu ada empat, pertama, mempuyai ilmu tentang al-Qur’an yang sesuai
dengan hokum-hukum yang berkaitan, mengetahui sunnah nabi baik dari ucapannya
maupun perbuatannya. Kedua, mengetahui bagaimana hadist itu diperoleh. Ketiga
mengetahui takwil yang telah dipakai oleh para ulama’ salaf, baik itu yang
berupa hasil kesepakatan maupun hasil dari berikhtilaf. Keempat mengetahui
qiyas untuk mengembalikan suatu hokum, pada dasarnya semula yang diambil dari
lafalnya maupun dari hasil kesepakatan mereka seorang mujtahid mampu menemukan
sebuah jalan dengan dasar-dasar yang ada. Jika mampu mengetahui ilmu-ilmu tersebut,
dia termasuk mujtahid, sebaliknya kalau tidak, dia tidak dapat dikatakan
sebagai mujtahid.
2. Mengetahui Ilmu Politik, Perang dan Administrasi
Para
ulama’ mengungkapkan tentang syarat mengetahui ilmu politik, perang dan
administrasi dengan redaksi yang berbeda-beda. Menurut Al-Bagdadi mengetahui
bentuk perpolitikan dan bak dalam mengurusi permasalahn, mengetahui tingkatan
social manusia dan mampu berinteraksi dengan mereka. Tidak meminta pertolongan
pada para pekerja kecil untuk mengerjakan tugas yang besar, dan harus
benar-benar mengetahui ilmu peperangan. Menurut al-Mawardi seorang pemimpin
harus mengetahui politik kepemimpinan dan mampu mengurusi kemaslahatan Negara.
Ibnu
Khaldun berpendapat bahwa seorang pemimpin harus memliki keberanian dalam
menegakkan ketentuan-ketentuan Tuhan dan siap menghadapi peperangan secara jeli
dalam mengatur startegi, mampu membawa rakyat untuk mau berjuang, mengetahui
fanatisme dan tipu daya, cukup tangguh menghadapi perpolitikan Negara, sehingga
pemimpin benar-benar mampu menjaga agama, berjihad ke medan perang, menegakkan
hak-hak yang harus dinikmati oleh rakyat, dan terakhir mampu mengatur
kemaslahatan umat.
Persyaratan
itu dapat diterjmahkan bahwa seorang pemimpin harus mempunyai wawasan luas
dalam urusan perpolitikan, perang dan administrasi. Karena dengan ketiga aspek
tersebut dia dapat melakukan tugasnya sebagai seorang pemimpin.
3. Kondisi Jiwa dan Raga yang baik
Al-Mawardi
menyebutkan bahwa syarat ini harus terpenuhi , berani dan mampu menolong yang
akan dapat dipakai dalam melindungi hal-hal yang penting dan jihad melawan
musuh. Imam al-Haramain berpendapat, Syarat-syarat dari seorang pemimpin adalah
harus mau menghadapi berbagai permasalahan dan mengantisipasinya dengan cepat,
cekatan dalam mempersiapkan militer untuk menghadapi musuh dan mempunyai
pandangan yang jernih bagi kepentingan rakyat. Dia tidak mengikuti hawa nafsu
yang mengakibatkan ketidakjelian dalam mengawasi kenegaraan. Dan cukup keras
memperjuangkan tegaknya hukum-hukum Tuhan.
Sedangkan
yang dimaksud dengan sehat badan adalah sehat pancaindera dan anggota badan
yang dapat mempengaruhi etos kerja. Ibnu Khaldun lebih luas dalam
mendefinisikan hal ini daripada ulama’ yang lain yakni selamat pancaindra dan
badan dari kelemahan yang mengakibatkan hilangnya salah satu anggota badan,
seperti hilangnya tangan dan kaki. Persyaratan tersebut diberlakukan agar
pekerjaannya sempurna. Definisi Ibnu Khaldun ini dapat melengkapi definisi yang
diuraikan oleh al-Mawardi.
4. Berlaku adil dan berakhlak Mulia
Berlaku
adil dan berakhlak mulia dalam pandangan Ulama’ fiqih identik dengan makna
takwa. Kemudian para ulama’ menambah kata wara’ yang muatannya harus
terealisasikan dalam jiwa seorang pemimpin. Menurut al-Mawardi para pemimpin
dikenai persyaratan sebanyak tujuh syarat, diantaranya adalah berlaku adil
dengan sekian persyaratan yang bersifat integral. Bagian ini dianggapnya
sebagai syarat pertama yang telah dijelaskan oleh al-Mawardi dalam Al-Ahkamus
Sulthoniyah bab qadhi, yang berbunyi berlaku adil harus benar-benar, apa yang
diucapkannya dapat dipercaya dan menjauhi perbuatan dosa, tidak melakukan
perbuatan yang terlarang serta menghindari perbuatan yang memunculkan keraguan.
Selain itu juga mencari keridhaan dan menahan timbulnya kemarahan, dapat
dijadikan contoh bagi agamanya dan dunianya. Berarti seorang pemimpin bukan
saja dilarang melakukan yang diharamkan oleh hokum, melainkan juga harus
menjauhi permasalahan yang masih belum jelas hukumnya.
Menurut
ibnu Khaldun berlaku adil adalah keharusan dalam menduduki jabatan yang
berhubungan dengan kedudukan keagamaan. Dalam kepemimpinan pun yang bersifat
luas, diharuskan terpenuhi persyaratan itu. Dia menambahkan lagi bahwa tidak
ada perbedaan dalam berperilaku adil, baik yang terjadi dalam pelanggaran
karena melakukan sesuatu yang terlarang dan semisalnya, begitu juga adanya
perbuatan bid’ah terhadap akidah.
Menurut
al-Ghazali, dia menyebutkan salah satu persyaratannya adalah wara’. Ini adalah
sifat yang paling luhur dan tinggi. sifat pribadi seorang yang dapat dicapai
begitu saja, seperti yang lainnya, dia mengatakan lagi bahwa wara’ adalah dasar
utama, dengan sifat inilah seorang pemimpin melaksanakan kepemimpinannya. Tidak
ada lagi selain wara’ dalam syarat kepemimpinan yang menjadi modal utama yang
sangat esensial. Kalau tidak terhiasi oleh wara’, seorang pemimpin tidak dapat
merealisasikan kepercayaan dengan baik.
Dengan
keadilan yang telah disampaikan oleh para ulama’ klasik di atas, seorang
pemimpin akan terhindar dari perbuatan kecurangan dalam melaksanakan kekuasaan
yang dipegangnya, baik yang berhubungan dengan keuangan, kebebasan, atau hak
untuk menyampaikan pendapat dari rakyat terhadap pemimpin serta hak-hak lainnya
dalam mengingatkan seorang peimpin dari perbuatan dholim terhadap rakyat, tidak
konsekuen dengan perkataan yang pernah diucapkannya atau menyalahi perbuatan
yang telah dikerjakan.
5. Memiliki kualifikasi kepemimpinan yang penuh
Syarat
berikut ini meliputi beberapa syarat, dia harus seorang muslim, bebas,
laki-laki dan berakal. Dengan persyaratan tersebut seorang pemimpin dapat
dikatakan memiliki kualifikasi kepemimpinan yang penuh.
Islam
adalah persyaratan utama yang menentukan keabsahan kesaksian dan dan
kepemimpinan, sebagaimana difirmankan Allah :
tûïÏ%©!$#
tbqÝÁ/utIt öNä3Î/
bÎ*sù tb%x.
öNä3s9 Óx÷Fsù
z`ÏiB «!$#
(#þqä9$s% óOs9r&
`ä3tR öNä3yè¨B
bÎ)ur tb%x.
tûïÌÏÿ»s3ù=Ï9 Ò=ÅÁtR
(#þqä9$s% óOs9r&
øÈqóstGó¡tR öNä3øn=tæ
Nä3÷èuZôJtRur z`ÏiB
tûüÏZÏB÷sßJø9$# 4
ª!$$sù ãNä3øts
öNà6oY÷t/ tPöqt
ÏpyJ»uÉ)ø9$# 3
`s9ur @yèøgs
ª!$# tûïÌÏÿ»s3ù=Ï9
n?tã tûüÏZÏB÷sçRùQ$#
¸xÎ6y .
(yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan
terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu
kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah Kami (turut berperang)
beserta kamu ?" dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan
(kemenangan) mereka berkata: "Bukankah Kami turut memenangkanmu, dan
membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan memberi keputusan
di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan
kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.
Ibnu Hazam telah mengomentari ayat
tersebut dengan mengatakan, Keimanan adalah jalan yang besar, diberlakukannya
syarat ini cukup realistis dan jelas, mengingat tujuan utama dari kedudukan imam
adalah untuk menerapkan hokum Islam.
Mengenai kebebasan, orang yang
tidak bebas (budak) termasuk memiliki kekurangan dalam syarat kepemimpinan
terhadap orang lain. Karena seorang budak tidak akan diterima menjadi saksi
apapun dalam berbagai kepentingan. Dengan sendirinya dia dilarang melaksanakan
sebuah tugas kepemimpinan dan menduduki kekuasaan lainnya. Dia baru boleh
mendapat hak menjadi seorang pemimpin jika telah dibebaskan dari ststus
sosialnya. Kemudian dia dapat menikmati hak-hak untuk memegang kekuasaan.
Sejarah masa lalunya tidak mempengaruhi kedudukannya setelah dibebaskan.
Berjenis kelamin laki-laki,
sebagian fuqaha mengatakan bahwa perempuan juga mempppunyai kekurangan dalam
hierarki kepemimpinan. Walaupun perkataan mereka dapat menentukan keputusan
hokum. Padahal Abu Hanifah membolehkan kaum perempuan menjadi hakim dalam
posisi bahwa peradilan tersebut adalah salah satu kepemimpinan yang terbesar
dalam perkara-perkara yang menerima kesaksian mereka. Dan dilarang dalam
perkara-perkara yang tidak menerima kesaksiannya. Dilain puhak at-Thabari
memperbolehkan mereka menjadi hakim dalam semua perkara tanpa pengecualian.
Akan tetapi bila dalam peradilan ada perbedaan diantara mereka, dalam masalah
keimamahan yang terjadi adalah sebaliknya. Semua sepakat bahwa perempuan tidak
boleh menduduki kursi keimamahan. Reevansinya karena kedudukan tersebut
menuntut seorabf perempuan untuk mengerjakan bberapa tugas yang riskan dan
menanggung beban yang sangat berat. Terkadang seorang imam diharuskan memimpin
perang, menempuh kesulitan besar dan turun tangan sendiri dimedan perang atau
pekerjaan-pekerjaan lain yang semacam itu. Semua itu berada di luar batas
kemampuan seorang perempuan.
Kedewasaan, seorang anak kecil
tidak dapat dibebani untuk menduduki jabatan seperti pembahasan di atas. Al
Mawardi mengatakan, Orang yang tidak dewasa tidak dikenai tanggungan dan
hukuman yang berlaku. Lebih utamanya seorang anak kecil tidak masuk dalam
persyaratan kepemimpinan. Sebagaimana yang di ungkapkan oleh Ibnu Hazam, bahwa seluruh
golongan keagamaan tidak memperbolehkan serang perempuan menduduki kepemimpinan
yang tertinggi, begitu juga dengan anak kecil tidak diperkenankan.
Berakal, secara jelas para ulama’
telah bersepakat dalam masalah kepemimpinan berakal adalah suatu yang
disyartkan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Mawardi bahwa tidak cukup hanya
dengan akal yang berhubungan dengan kewajiban, tetapi harus mampu mengetahui
hal-hal yang sangat urgen. Sehingga dapat membedakan dengan seksama semua
permasalahan yang ada, terhindar dari dorongan hawa nafsu maupun lupa. Dengan
kepandaian dia dapat menjelaskan permasalah dan menyimpulkan yang bercerai
berai. Seakan beliau ingin berkata bahwa
yang dimaksudkan dengan syarat ini bukan sekedar tamyiz, melainkan juga
kecerdasan dan kecerdikan.[10]
6. Keturunan
Seorang
imam harus berasal dari keturunan Quraisy. Persyaratan sebelumnya, secara
keseluruhan telah disepakati keberadaanny. Namun dalam syarat yang satu ini,
para ulama’ Ahlu sunnah berpendapat sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh
as-Syafi’I bahwa beliau telah menyebutkan permasalahan keturunan dalam beberapa
karyanya. Hal itu diriwayatkan juga oleh Zarqani dari Abu Hanifah. Akan tetapi
al-baqillani yang merupakan pemuka aliran Asy’ari dan tokoh Ahlu Sunnah abad IV
termasuk orang pertama yang menolak persyaratan keturunan dari kaum Quraisy.
Kemudian diikuti oleh yang lainnya lagi. Dan ibnu Khaldun sendiri dapat
dimasukkan dalam kelompok ini karena berumuskan sebuah teori baru dalam
menafsirkan syarat ini yaitu sebuah penafsiran yang bernilai histori.
Alasan
utama Ahlu Sunnah cukup kuat berpegang pada berpegang pada keutamaan kaum
Quraisy karena mereka melihat sebuah hadist yang sahih menurutnya, yang di
antaranya berbunyi, “ para imam adalah dari Quraisy”, “Urusan pemerintahan ini
tetap berada di tangan keturunan Quraisy selama mereka masih beristiqomah atau
masih menegakkan ajaran agama,” juga “Dahulukan kaum Quraisy dan Janganlah
mendahulukan yang lainnya atasnya.” Namun dari sisi lain kita melihat ada
sebagian hadist atau berita lain yang disampaikan oleh para ulama’ Islam yang
tidak mengandung makna seperti tadi. Sebagaimana Hadist yang Rasulullah yang
berarti, “dengarkan dan taatilah walaupun seandainya yang memimpin kamu semua
adalah seorang hamba Habsy Dzu Zabilah”.
Umar
bin Khatab r.a berkata, “Seandainya Salim Maula Hudzaifah hidup, akan saya
angkat dia untuk menduduki kekuasaan, atau tidak akan ada keraguan dalam hatiku
akan reputasinya.” Kaum Ahlu Sunnah yang berpendapat dengan pendapat pertama
menakwilkan hadis terakhir ini atau lainnya. Sebagai contoh adalah yang
bertujuan melebihkan untuk mempertegas, mendengar dan taatnya atau karena
berhubungan dengan kekuasaan yang kecil cakupannya tanpa mencukupi kekuasaan
umum. Atau karena mereka menilai bahwa cap budak yang diberikan kepada mereka
berdasarkan status mereka dahulu, bukan dalam status yang disandangnya
sekarang.[11]
Cukup
jelas bagaimana kaum Ahlu Sunnah berpegang teguh pada prinsip agar persyaratan
seorang pemimpin harus dari Quraisy.
C.
Tokoh-tokoh Sunni dan Pencapaiannya
Banyak sekali
tokoh-tokoh para ulama’ dan Ilmuwan muslim pada masa pemerintahan Abasiyah yang
berpegang teguh pada Sunnah Nabi Muhammad SAW. (sunni) mereka telah banyak
menelurkan karya-karyanya.
Tokoh-tokoh terkenal
dalam bidang filsafat adalah Al-Farabi, Al-‘Arabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rusdy.
Al-Farabi banyak menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika
dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles. Ibnu Sina juga banyak mengarang
buku tentang filsafat, dan yang paling terkenal diantaranya adalah al-Syifa,
Ibnu Rusyd yang di barat lebih dikenal dengan nama Averrous, banyak
berpengaruh di barat dalam bidang filsafa, sehingga disana terdapat aliran yang
disebut Averroisme.[12]
Sebagaimana juga Al-Syafi'i
munyusun Ushul Fiqh yang di dalamnya mengandung ajaran tentang Ijma' dan Qiyas.
Dalam bidang Hadist lahir tokoh Bukhari dan Muslim. Dalam bidang Tafsir, lahir
Al-Tabbari dan Ibn Mujahid.
Al-Ghazali, pencapaian-pencapaian
al-Ghozali dapat disimpulkan menjadi tiga kategori :
a. Dialah yang
mendefinisikan sikap Islam Sunni terhadap filsafat, dengan mmperlihatkan bahwa beberapa disiplin filsafat
harus ditolak sama sekali. Adapun seperti logika dapat dipakai sebagai
pelengkap teologi.
b. Dia
berperan dalam kekalahan intelektual Ismailisme.
c. Dia berperan
penting dalam membuat sufisme sebagai bahan rujukan dalam Islam Sunni. Dalam
keyakinan dan prakteknya, dia menunjukkan dalam Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama
(Ihya’ ulum al-din) dan dalam kesempatan-kesempatan lain bahwa kepatuhan
pada kewajiban-kewajibanIslam sehari-hari bisa merupakan suatu dasar yang
berguna bagi kehidupan seorang sufi.[13]
Adapun tokoh-tokoh
Sunni yang lainnya masih sangat banyak, diantaranya adalah ibnu Taimiyah,
Al-Mawardi, Ahmad ibn Hambal dan yang lainnya. Yang tidak dapat kami sampaikan
satu-persatu pencapaian ataupun hasil karya yang telah dihasilkannya.
Demikianlah kemajuan
politik dan kebudayaan yang pernah dicapai pemerintahan Islam pada masa klasik,
kemajuan politik berjalan seiring dengan kemajuan peradapan dan kebudayaan,
sehingga Islam mencapai masa keemasan, terutama pada masa pemerintahan bani
Abbas periode pertama.
BAB III
KESIMPULAN
Pada masa kekhalifahan
al-Ma’mun Mu’tazilah dijadikan sebagai mazhab resmi negara. Al-Ma’mun memaksa
semua pejabat negara dan tokoh-tokoh agama mengikuti paham ini, terutama yang
berkaitan dengan anggapan bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Pemaksaan terhadap
paham tersebut lebih dikenal dengan sebutan Mihnah disebut juga inquiri atau
ujian aqidah terhadap pejabat dan para ulama Kebijakan Mihnah pada masa
al-Ma’mun berlangsung sangat ketat, bahkan sampai khalifah al-Watsiq (227-232 H
/842-847 M).
Kebijakan Mihnah
bergeser pada paham Ahlussunnah wal Jama’ah saat masa Khalifah al-Mutawahil
(232-247 H / 847-861 M). Ia melihat bahwa posisinya sebagai khalifah perlu
mendapatkan dukungan mayoritas. Sementara, setelah peristiwa mihnah terjadi
mayoritas masyarakat adalah pendukung dan simpatisan Ibnu Hanbal. Oleh
karenanya al-Mutawakil membatalkan paham Mu'tazilah sebagai paham negara dan
menggantinya dengan paham Sunni.
Dalam kaitannya dalam
melakukan sebuah pengangkatan khalifah adalah memenuhi persyaratannya. Para
ulama’ sunni berbeda pendapat dalam jumlah persyaratan ini, al-Bagdadi
menyebutkan jumlahnya sebanyak 4 syarat, jumlah yang sama juga dikatakan oleh
Ibnu Khaldun, walaupun tidak ada
kesesuaian dalam redaksi. Sementara al-Ghazali menyebutkannya sebanyak 10
syarat dan menurut al-Mawardi sebanyak 7 syarat. Dari beberapa pendapat
tersebut dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat untuk menjadi pemimpin adalah berilmu
(kualfikasi Ijtihad), Mengetahui Ilmu Politik, Perang dan Administrasi, Kondisi
Jiwa dan Raga yang baik, Berlaku adil dan berakhlak mulia, memiliki kualifikasi
kepemimpinan yang penuh dan yang terakhir adalah keturunan dari kaum Quraisy.
Banyak tokoh-tokoh
Sunni yang telah berhasil merumuskan pemikiran-pemikirannya yang mencakup
tentang filsafat, tafsir, Hadist dan yang lainnya. Sebagai kekayaan keilmuwan
yang ada pada masa itu dan dapat digunakan di masa sekarang, walaupun terkadang
tidak harus dimaknai secara tekstual.
[1]
A. Mustofa. Filsafat Islam. (Bandung : CV Pustaka Setia, 1997), h. 92
[2]
A. Mustofa. Filsafat Islam…h. 84
[3]
Ibid, h. 85. Lihat juga dalam Ibnu Hajar, Thabaqat Syafi’iyah dan Tarikh
Khalifah-khalifah Islam.
[4]
M. abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradapan Islam, (Yogyakarta :
Pustaka book Publissher, 2007), h. 174
[5]
Badri Yatim, Sejarah Peradapan Islam. (Jakarta : Raja Grafindo Persada,
2000), h. 67
[6]
Akbar S. Ahmed, Rekonstruksi sejarah Islam, (Yogyakarta : Fajar Pustaka
Baru, 2003), h. 72
[7]
W . Montgomery Watt, Kejayaan Islam : Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis.
(Yogyakarta : Tiara acana, 1990), h. 223
[8]
Ibid. h. 224
[9]
M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, Terjemah oleh Abdul Hayyie
al-Kattani, (Jakarta : Gema Insani Press, 2001), h. 231
[10]
Ibid, h. 231-239
[11]
Ibid, h. 242
[12]
Badri Yatim, Sejarah Peradapan Islam…h. 99
[13]
W . Montgomery Watt, Kejayaan Islam : Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis…h.
262
Tidak ada komentar:
Posting Komentar