Rabu, 28 Desember 2011

Tafsir Al fatihah


TAFSIR SURAH AL-FATIHAH

  1. Saya memulai dengan meminta pertolongan kepada Allah serta berserah diri kepada-Nya, dan disebutkan nama Allah karena nama Allah adalah nama yang agung yang disandarkan kepada-Nya, segala nama yang menunjukkan pada kesempurnaan Tuhan dan yang berhak untuk disembah. Al-Rahman adalah yang Maha Luas Rahmat-Nya dan rahmat-Nya umum untuk semua makhluk. Dan Maha Penyayang kepada para wali-Nya dari para nabi dan orang-orang yang shalih. Dan nama-nama-Nya serta sifat-sifat-Nya ditetapkan atas hakikat yang dimaksud dalam kitab dan sunnah.
  2. Pujian atas Allah dengan segala sifat-Nya yang sempurna. Dialah yang patut untuk dipuji dalam segala keadaan. Rahmat-Nya adalah keutamaan dan adzab-Nya adalah keadilan. Dialah Tuhan yang menciptakan dan memberi rizki, dan memelihara para wali-Nya dengan iman dan ilmu secara khusus, untuk itulah Allah sepatutnya dipuji. Dialah Dzat yang Maha Kaya, tidak membutuhkan yang lainnya. Dan sebaliknya, semua makhluk membutuhkan-Nya.
  3. Disebutkan lagi Al-Rahman dan Al-Rahim karena rahmat-Nya mendahului adzab/kemarahan-Nya dan karena rahmat-Nya melingkupi segala sesuatu yang hidup dan umum untuk semua makhluk.
  4. Allah-lah yang menjadi hakim pada hari perhitngan dan pembalasan, yaitu pada hari Kiamat. Dan sesungguhnya Allah mengkhususkan hari perhitungan dan pembalasan pada hari Kiamat karena Dia menunjukkan kepada seluruh makhluk akan kesempurnaan dan kekuasaan-Nya pada hari itu. Jika tidak demikian, maka Dia adalah Raja pada hari pembalasan dan hari-hari yang lain. Dan hari pembalasan adalah hari dibalasnya segala perbuatan manusia. Jika amalnya buruk maka balasannya jug buruk. Maka harus diingat perkara tersebut dan harus dipersiapkan untuk menghadapinya.
  5. Hanya untuk-Mu-lah setiap ibadah kami, dan hanya kepada-Mu setiap dari kami memohon pertolongan. Maka hak-Mu atas kami adalah kamu menyembah-Mu dan kami tidak akan menyekutukan-Mu dengan sesuatu. Tapi ini semua tidak akan terlaksana kecuali dengan pertolongan-Mu. Ibadah adalah segala sesuatu yang disenangi oleh Allah, baik perkataan maupun perbuatan. Dan meminta pertolongan adalah dengan bersandar kepada Allah dalam mencapai hal-hal yang baik dan menolak hal-hal yang buruk. Dhamir إيّاك didahulukan atas atas fi’il-nya karena mempunyai faedah untuk mengkhususkan ibadah kepada Allah dan meminta pertolongan hanya kepada-Nya.
  6. Berilah kami petunjuk ke jalan yang terang yang menuju kepada keridhaan-Mu dan surga-Mu dengan mengikuti perintah-Mu dan menjauhi larangan-Mu.
  7. Dan jalan yang terang ini adalah jalan para nabi dan orang-orang yang jujur, orang-orang yang syahid dan orang-orang yang shalih, dan bukan jalan orang-orang yang mengetahui kebenaran tetapi tidak melakukannya, seperti orang-orang Yahudi; buka pula jalan dari mereka yang meninggalkan kebenaran dari kebodohan dan kesesatan seperti orang-orang Nasrani.  

TAFSIR SURAH AL-MUJADILAH AYAT 7-12

  1. Apakah engkau tidak mengetahui bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi, tidaklah berbisik-bisik tiga orang dengan rahasia kecuali Dia mengethuinya karena Allah adalah yang keempat. Tak ada satu pun yang tersembunyi bagi Allah dari yang mereka katakana. Dan tidak ada lima orang kecuali Allah adalah yang keenam dengan ilmu-Nya. Tidak ada yang ghaib bagi Allah apa-apa yang mreka rahasiakan dan tampakkan. Dan tidak lebih sedikit dari bilangan ini (3) dan tidak lebih banyak dari bilangan tadi kecuali Dia bersama mereka dengan ilmu-Nya padahal Dia bersemayam di atas singgasana-Nya. Dia, Yang Maha Besar dan Maha Tinggi, mengetahui makhluk-Nya, dan pada hari Kiamat Allah memberi tahu segala apa yang mereka kerjakan, baik kebaikan maupun keburukan, dan Dia Maha Mengetahui atas segala sesuatu, Maha Mengetahui segala rahasia.
  2. Tidakkah engkau perhatikan, wahai Nabi, orang-orang Yahudi yang telah dilarang oleh Allah agar tidak berbicara secara rahasia (berbisik-bisik) yang dapat menimbulkan keraguan bagi kaum muslimin dan menimbulkan kebimbangan dari mereka lalu mereka kembali pada apa yang dilarang oleh Allah. Dan mereka berbicara secara sembunyi-sembunyi tentang hal-hal yang buruk, melampaui batas dalam kezhaliman dan permusuhan. Dan jika orang-orang Yahudi itu datang kepadamu, wahai Nabi, mereka mengucapkan salam kepadamu dengan ucapan yang bukan seperti Allah ajarkan, yaitu perkataan mereka: “racun atasmu” yang berarti kematian bagimu, lalu mereka berkata, “kenapa Allah tidak menghukum kita dengan perkataan begini jika Muhammad memang utusan Allah?” Maka Allah memberitahukan bahwa siksa bagi mereka lebih pedih yaitu neraka Jahannam yang sangat panas, yakni sejelek-jelek tempat dan keputusan yang paling jelek bagi orang-orang kafir.
  3. Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian berbisik-bisik maka janganlah mengatakan perkataan yang diharamkan oleh Allah, baik yang keji dengan sendirinya atau yang di dalamnya menzhalimi manusia atau bertentangan dengan Rasul. Dan katakanlah ucapan yang di dalamnya terdapat perbaikan, kebaikan, dan manfaat. Dan kebaikan adalah yang di dalamnya terdapat unsure ketaatan. Dan takwa adalah meninggalkan maksiat. Dan takutlah kalian kepada Allah dengan cara mengikuti Rasulullah SAW dan mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Allah-lah satu-satunya Tuhan yang Maha Suci, tempat kembali kalian adalah kepada-Nya untuk membalas perbuatan kalian.
  4. Sesungguhnya berbicara secara rahasia dengan dosa dan permusuhan adalah godaan setan dan merupakan perbuatan bermaksiat kepada Allah untuk memasukkan kesedihan bagi orang-orang yang beriman. Dan tidaklah itu menyakiti orang-orang yang beriman, kecuali dengan kehendak Allah semata, bukan dari yang lainnya. Hendaklah orang-orang yang beriman kepada Allah bersandar kepada-Nya. Dan kepada-Nya setiap muslim menyerahkan urusannya, cukuplah Allah sebagai penolong.
  5. Hai orang-orang yang beriman, jika kalian diperintahkan untuk memberi kelapangan bagi yang lain dalam majlis-majlis maka hendaklah seorang muslim memberi kelapangan untuk saudaranya dalam suatu majlis maka Allah pun akan melapangkan rizki dan pahala kalian. Dan jika di antara kalian ada yang diminta untuk berdiri karena suatu sebab, maka berdirilah. Dan Allah pun akan meninggikan tempat orang-orang yang beriman di antara kalian sesuai dengan keimanan mereka dan meninggikan derajat orang-orang yang berilmu setinggi-tingginya dalam keutamaan dan pahala karena keutamamaan ilmu. Ilmu disebutkan setelah adab (sopan-santun) dalam majlis karena orang-orang yang berilmu lebih paham dari yang lainnya mengenai adab dan akhlak. Dan Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu. Tidak ada satu pun yang tersembunyi dari-Nya dan tak ada satu perkara pun yang lepas dari pengamatan-Nya. Dan setiap perbuatan masing-masing individu akan dihisab.
  6. Hai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kalian ingin berbincang-bincang secara rahasia dengan Rasulullah SAW maka bersedekahlah sebelumnya dengan sesuatu, yang demikian itu baik bagi kalian dengan bertambahnya kebaikan kalian, dan lebih suci bagi kalian dengan dihapuskannya keburukan-keburukan. Dan jika kalian belum mampu bersedekah maka tidak ada dosa atas kalian karena Allah telah mengampuni kalian karena Allah Maha Luas ampunan-Nya, banyak rahmat-Nya. Di antara ampunan-Nya adalah Dia tidak mencela dan di antara rahmat-Nya adalah Dia tidak menghukum.
  

MANFAAT MENGETAHUI TANDA-TANDA KIAMAT

  1. Benar-benar beriman kepada hal-hal yang ghaib, yang termasuk Rukun Iman yang keenam. Allah berfirman: (الذين يؤمنون بالغيب ويقيمون الصلوة) “…yaitu orang-orang yang beriman pada hal-hal yang ghaib dan mendirikan shalat…” Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan beriman kepadaku dan kepada yang aku bawa. Maka jika mereka telah beriman terjagalah darah dan harta mereka dariku, kecuali yang berhak untuk ditumpahkan darahnya dan diambil hartanya, dan hisab mereka adalah urusan Allah.” Iman kepada hal yang ghaib adalah mengimani segala yang diberitakan oleh Allah SWT atau diberitakan oleh Rasul SAW, dan benarlah apa yang diambil darinya seperti yang telah kita saksikan, atau yang masih ghaib bagi kita, kita tahu bahwa itu adalah benar dan betul-betul ada. Dan sebagian dari hal-hal ghaib tersebut adalah tanda-tanda kiamat, seperti keluarnya Dajjal, turunnya Isa bin Maryam AS, keluarnya Ya’juj dan Ma’juj, keluarnya hewan melata, terbitnya matahari dari sebelah barat, dan sebagainya yang benar-benar dinukil dari Rasulullah.
  2. Mengetahui tanda-tanda Kiamat dapat menggugah jiwa untuk mentaati Allah dan mempersiapkan diri untuk hari Kiamat, yaitu mengingatkan/ membangkitkan orang-orang yang lengah, mengajak mereka bertaubat, dan menghilangkan kecenderungan pada dunia, sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah dan orang-orang yang menyertainya (para sahabatnya) ketika mengetahui dekatnya salah satu tanda Kiamat. Dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan bahwa Rasulullah SAW terbangun pada malam hari dan bersabda: “Celakalah orang-orang Arab dari kejahatan yang telah mendekat. Hari ini terbuka pintu penjara Ya’juj dan Ma’juj” (hadits). Dalam hadits itu pun disebut, “…bangunkanlah orang-orang yang shalat di dalam kamar-kamar mereka! Banyak orang yang berpakaian di dunia telanjang di akhirat.”
  3. Di dalam tanda-tanda Kiamat terdapat keterangan hukum-hukum syari’at dan masalah-masalah fiqh. Dalam cerita tentang diamnya Dajjal di bumi, sehari bagaikan setahun dan sehari bagaikan sebulan. Para sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW tentang hari-hari yang lama ketika Dajjal tinggal di bumi, “Apakah cukup dalam satu hari shalat seharian penuh?”  Maka Nabi menjawab, “Tidak, perkirakan saja sesuai kemampuannya.”  Dari hal ini dapat kita ambil pelajaran mengenai bagaimana cara shalat seorang muslim yang menetap di suatu wilayah/negara selama beberapa waktu.
  4. Nabi SAW mengetahui tanda-tanda Kiamat dan tanda-tanda Kiamat tersebut merupakan perkara ghaib yang tidak bisa diketahui dengan perkiraan maupun prediksi. Hal ini menunjukkan kebenaran kerasulannya. Bahwa ia adalah utusan Allah yang Maha Suci lagi Maha Mengetahui hal-hal yang ghaib dan yang tampak. Allah berfirman:
 علم الغيب فلا يظهر على غيبه احدا(۲٦) ٳلا من ارتضى من رسول فٳنه يسلك من
 بين يديه و من خلفه رصدا
“Dia Mengetahui yang ghaib, tetapi Dia tidak memperlihatkan kepada siapapun tentang yang ghaib itu (26) Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di depan dan di belakangnya.”
  1. Sesungguhnya pengetahuan kita tentang tanda-tanda Kiamat bermanfaat bagi kita dalam menghadapinya dengan cara yang diajarkan oleh syari’at, sehingga kita tidak hanya mengetahuinya secara samara-samar seperti yang dikisahkan kepada kita tentang Dajjal secara terperinci, bagaimana matanya, dahinya dan apa saja yang terdapat padanya, sehingga kita tidak terkena fitnahnya tapi kita tahu bahwa dia adalah Dajjal.
  2. Mempersiapkan diri untuk menghadapi masa depan tentu berbeda dengan hal yang datang secara tiba-tiba.
  3. Membuka pintu cita-cita; karena di antara tanda-tanda Kiamat adalah kemenangan Islam dan tersebarnya Islam di muka bumi, dan bahwasannya agama Yahudi dan Nasrani akan lenyap. Semua itu berdasarkan kabar gembira dari Nabi tentang kemampuan Islam dan kelebihannya atas segala agama sekalipun orang-orang kafir membencinya.
8.      Memuaskan keinginan alami manusia yang selalu mencari tahu untuk membuka hal-hal yang ghaib darinya dan untuk mengetahui peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian yang terjadi di masa depan dengan pembenaran dari Allah terhadap berita-berita yang benar mengenai hal-hal yang ghaib ini.

MENGIKUTI TRADISI UMAT TERDAHULU

Di antara fitnah terbesar yang ditimpakan kepada kaum muslimin adalah fitnah meniru-niru buta, dan menyerupai sesuatu yang dibenci yaitu menyerupai adat orang-orang Yahudi dan Nasrani atau yang lainnya dari golongan orang kafir.
Yang mulia Nabi SAW telah mengabarkan bahwa ada sekelompok umatnya yang akan meniru umat-umat yang tersesat dari umat Yahudi dan Nasrani dalam kebiasaan, perilaku, dan kehidupan mereka.
Dari Abu Hurairah RA berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah hari Kiamat terjadi sampai umatku mengambil dari umat-umat sebelumnya (menjadikan kebiasaan perilaku jahiliah) sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. ‘Dikatakan: Ya Rasulullah, apakah seperti orang Persia dan Romawi?’ maka Rasul berkata: “Siapa lagi kalau bukan mereka.”
Sebagian besar dari apa yang diperingatkan Rasulullah SAW telah terjadi, dan yang lainnya akan terjadi pula sebagaimana disebutkan dalam suatu hadits; dari Sa’id al-Khudri berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Sungguh akan kalian ikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, hingga meskipun mereka masuk ke lubang kadal maka kalian akan mengikuti mereka.’ Kami berkata, ‘Ya Rasulullah, apakah orang-orang Yahudi dan Nasrani?’ kata Rasulullah, “Siapa lagi kalau bukan mereka?” 
Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata: “Sejengkal, sehasta dan memasuki lubang diibaratkan untuk mengikuti dan meniru mereka”
Mengikuti kebiasaan orang-orang Yahudi dan Nasrani maksudnya bukan dalam pengertian saling bertukar pengalaman ilmiah dan kita mengambil manfaat dari hasil karya mereka, ketertiban administrasi, dan yang lainnya yang tidak bertentangan dengan agama kita.
Sesunguhnya meniru mereka yang tercela adalah jika kita meniru mereka dalam cara berpakaian, adapt dan cara mereka bergaul dalam masyarakat – dari sisi percampuran antara lawan jenis dan melepas hijab – atau dari segi keuangan yang bertentangan dengan agama kita, seperti riba dan yang lainnya.




WANITA HAMBA SAHAYA MELAHIRKAN TUANNYA

Di antara tanda-tanda hari Kiamat adalah seorang wanita hamba sahaya yang melahirkan anak yang akan menjadi tuannya. Hal itu terjadi dengan cara seorang laki-laki merdeka menggauli wanita hamba sahaya atau budak perempuan yang dimilikinya dengan sumpah bila hamba sahaya tadi hamil dari tuannya lalu melahirkan anak laki-laki maka anaknya tadi akan jadi pemuda merdeka. Dan bila ayahnya masih hidup sementara ibunyamasih belum dimerdekakan maka anak tadi akan menjadi tuan bagi ibunya.
Dalam suatu hadits Jibril, disebutkan bahwa ia bertanya pada Nabi SAW tentang Kiamat, maka beliau pun bersabda: “Akan kuberi tahu engkau tentang tanda-tandanya: jika seorang wanita hamba sahaya melahirkan tuannya.”
Makna dari hadits di atas adalah: jika wanita-wanita hamba sahaya melahirkan raja-raja maka wanita-wanita tadi jadi rakyatnya, dan raja adalah tuan bagi rakyatnya.


                                  

MANAJEMEN DALAM PANDANGAN ISLAM

Manajemen dan kepemimpinan dalam Islam merupakan suatu tanggung jawab yang berat hingga banyak orang menjauhinya karena merasa tidak mampu. Memegang tanggung jawab dalam Islam bukanlah salah satu alat untuk mencapai kedudukan, bukan pula alat untuk memperoleh kemuliaan, tidak pula diidentikkan dengan kedudukan atau jabatan. Tanggung jawab manajemen dan kepemimpinan dalam Islam merupakan ujian bagi para pemegang kekuasaan dan menjadi inspirasi bagi orang-orang yang mempunyai pemikiran. Pemimpin adalah orang yang berat tanggung jawab dan risikonya. Nabi SAW bersabda: “Pemimpin adalah orang yang berat hutangnya dan agama adalah penebusnya.” (Al-Mu’jam Juz II, 1943: 290)
 Pengertian kepemimpinan menurut pandangan Islam sudah jelas, terutama menurut para ulama salaf. Sejarah peradaban umat Islam telah lama membuktikan pemahaman terhadap kepemimpinan dan manajemen. Dalam pidatonya yang pertama, pemimpin Islam Umar bin Khattab, setelah diangkat menyatakan: “Sesungguhnya Allah menguji kalian lewat aku dan aku diuji lewat kalian. Wahai manusia, saya ini hanya seperti kalian. Seandainya saya tidak menginginkan masalah kepemimpinan (menjadi pengganti) Rasulullah maka saya tidak akan mengikuti urusan kalian.” (Al-Thabari, 1326 H: 20) Manajemen dan kepemimpinan menurut Umar adalah ujian, dan ujian itu berat bagi orang yang bertanggung jawab. Masa kepemimpinan bukan berarti keistimewaan dan harta benda. Lewat kalimat, “aku hanyalah seperti kalian” Umar menyatakan bahwa ia menerima kepemimpinan karena terpaksa dan untuk memenuhi keinginan dari Khalifah Rasulullah SAW, yaitu Abu Bakar al-Shiddiq sebagai suatu kewajiban dan beban.
Manajemen dalam Islam adalah pengabdian. Seorang sahabat berkata: “Pemimpin suatu kaum adalah budak mereka.” Manajemen juga merupakan pengasuhan, pendidikan, dan bimbingan. Umar berkata pada rakyatnya: “Wahai manusia, demi Allah, sesungguhnya aku tidak mengutus pegawai-pegawai untuk memukul kulit kalian dan tidak untuk mengambil harta kalian, tetapi aku utus mereka untuk mengajarkan agama dan jalan lurus bagi kalian. Maka barang siapa yang mengerjakan sesuatu yang lain dari hal itu tadi, adukanlah padaku. Maka demi Allah yang jiwa Umar berada di tangan-Nya, aku akan menghukumnya.” (Al-Thabari, 1326 H: 20)
Selama manajemen merupakan pengabdian, pengasuhan, pendidikan, dan bimbingan, maka tidak akan dijadikan pemimpin seorang yang diktator atau orang-orang yang mengambil keuntungan darinya dan memanfaatkannya, atau menindas dengan perantara kepemimpinannya. Para ulama salaf telah berpaling dari kedudukan ini dan mereka tidak memberikan kedudukan bagi orang yang memintanya atau mendekatinya untuk memperolehnya. Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab RA tidak jadi mengangkat seseorang yang sebelumnya ingin dijadikannya sebagai pegawai setelah orang tersebut meminta jabatan. Umar berkata kepadanya: “Demi Allah, sebenarnya aku menginginkanmu untuk menduduki jabatan tersebut, tapi barang siapa yang meminta jabatan maka dia tidak bisa membantunya.” (Ibnu ‘Abdi Rabbihi, 1316 H Juz I: 24)
Dapat diambil kesimpulan dari hal di atas bahwa filsafat manajemen dalam Islam berupa tanggung jawab yakni ujian yang diberikan kepada pemimpin karena besarnya beban dan beratnya tanggungan baginya. Manajemen merupakan tanggung jawab, pengabdian, dan pengasuhan, bukan kekuasaan atau kedudukan. Sesungguhnya kepemimpinan dictator tidak bisa dijadikan pelajaran dan usahanya yang tamak dalam kepemimpinannya akan menimbulkan keraguan bagi orang-orang di sekelilingnya mengenai hakikat dan tujuan dari kekuasaannya. (‘Ali Abu Hilalah, makalah yang tidak diterbitkan)


ASAS MANAJEMEN ISLAMI

Asas-asas manajemen islami adalah sebagai berikut:
A.    Asas musyawarah; asas ini merupakan asas yang paling pokok dalam manajemen Islam dengan berbagai tingkatannya. Dalam Al-Qur’an, musyawarah disebut dalam Surah al-Syura: 38 (و امرهم شورى بينهم) “…dan urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka…”
dan  Surah Ali ‘Imran: 159 (و شاورهم في الٲمر) “…dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu…”
Hal ini diperkuat dengan hadita-hadits Nabi, sebagaimana sabda beliau: “Bahwa Tuhanku telah meminta pendapatku tentang umatku.” (Ahmad bin Hanbal 5, 393 al-Mu’jam (1943 M) Juz III: 212), dan “Jika salah seorang meminta pendapat saudaranya maka hendaklah saudaranya memberi pendapat.” (Ibnu Majah, Adab 37 al-Mu’jam 1943 M, Juz II: 212) Ini bukan hanya kata-kata, tapi Rasulullah SAW dalam prakteknya selalu memakai prinsip musyawarah. Abu Hurairah RA berkata: “Aku tidak melihat seorang pun yang banyak meminta pendapat teman-temannya daripada Rasulullah SAW.” (Al-Tabari 1323 H, Juz I: 192)
Ini dikuatkan oleh kejadian-kejadian dalam perjalanan hidup Nabi. Rasulullah SAW bermusyawarah dalam Perang Badar, begitu pula dalam Perang Uhud, dan menarik kembali kesepakatan yang hampir membunuh beliau pada Perang Khandaq sesuai pendapat tentara Islam, al-Ghiyari.
Dan para khalifah setelah Rasulullah SAW juga menjalankan prinsip musyawarah. Abu Bakar al-Siddiq mendirikan sebuah majlis untuk bermusyawarah guna membahas permasalahan yang tidak ada dalil yang jelas dalam Al-Qur’an dan hadits, sedangkan Umar bin Khattab RA mengumpulkan para sahabat di Madinah dan melarang mereka keluar kota karena mereka adalah anggota parlemen. (Al-‘Idad, 1969: 8)

B. Asas ikut bertanggung jawab; manajemen yang islami tidak mempercayai kediktatoran manajer atau pemimpin. Pemimpin tidak dianggap sebagai satu-satunya penanggung jawab tapi semua adalah penanggung jawab. Rasulullah SAW bersabda: “Setiap orang dari kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin harus bertanggung jawab atas rakyatnya; imam adalah seorang pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya; dan seorang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan bertanggung jawab atas keluarganya; dan seorang perempuan di rumah suaminya aadalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya; dan pembantu adalah pemimpin (penjaga) harta tuannya dan bertanggung jawab atas apa yang dijaganya; dan setiap orang dari kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin harus bertanggung jawab atas rakyatnya.” (Al-Bukhari Juz I M, al-Mu’jam Juz II, 1943: 273)
Tidak diragukan lagi bahwa seorang manajer atau pemimpin adalah penanggung jawab, akan tetapi orang yang dipimpin juga ambil bagian dalam tanggung jawab tersebut. Mereka bertanggung jawab untuk membantu pemimpin dalam membawa beban beratnya sebagaimana mereka juga bertanggung jawab untuk menasihati pemimpin berdasarkan musyawarah yang murni untuknya. Dan penanggung jawab tidak bisa memaksa dan menghakimi orang lain kecuali jika dia  bisa meluluhkan mereka dengan kelemahlembutan. Disebutkan dala Al-Qur’an al-Karim tentang pemaksaan dan penguasaan Fir’aun yang dilakukan dengan meminta keringanan dari rakyatnya, “…Fir’aun meminta keringanan dari kaumnya sehingga mereka mematuhinya.” 
Tanggung jawab dalam Islam merupakan kewajiban setiap individu, bukan dibebankan pada salah seorang saja, sehingga setiap orang wajib memikul tanggungjawabnya masing-masing dan menjalankan kewajibannya itu dengan penuh kekuatan dan percaya diri.

C.     Asas menyerahkan kekuasaan dan perbaikan; asas ini terlihat jelas dalam praktek-praktek yang dicontohkan Rasulullah dengan meminta tolong kepada para sahabatnya dalam mengelola negara Islam saat itu. Rasulullah membagi tanggung jawab dan kewenangan pada para sahabat. Asas ini pun telah kuat mengakar pada praktek pemerintahan al-Khulafa’ al-Rasyidun sepeninggal Rasulullah SAW. Khalifah Umar bin Khattab menulis surat untuk Ubaidah ketika meminta pendapat nya mengenai pertemuan dengan orang-orang Persia. Surat itu berbunyi, “Kamu yang menyaksikan dan saya tidak. Orang yang menyaksikan melihat apa yang tidak dilihat oleh orang yang tidak menyaksikan.” (Al-‘Iqad, 1969: 106)
Kitab-kitab sejarah tidak meninggalkan keraguan mengenai penerapan asas ini dalam berbagai masa pemerintahan Islam. Harun al-Rasyid menulis surat kepada perdana menterinya, Yahya bin Khalid al-Barmaki: “Aku serahkan urusan rakyat kepadamu dan telah aku keluarkan dari leherku kepadamu, maka memerintahlah dengan apa yang kamu lihat benar dan pakailah siapa saja yang kamu lihat cocok dan turunkanlah siapa saja yang kamu lihat tidak cocok, dan selesaikanlah perkara-perkara dengan pendapatmu.” (Sulaiman al-Thahawi, 1965: 129) 

D.    Asas teladan yang baik; seorang manajer dalam Islam adalah contoh bagi orang yang bekerja dengannya. Al-Qur’an al-Karim mengecam orang-orang yang menjual perkataan sebagai barang dagagan dalam Surah al-Shaf: 2-3;
 (يا ٲيها الذين آمنوا لم تقولو مالا تفعلون(۲) كبر مقتا عند الله ٲن تقولوا مالا تفعلون(۳)
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?! (2) Sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”
Melalui sebuah contoh yang baik, manajemen Islam berhasil dalam mengumpulkan dukungan orang-orangnya. Rasulullah SAW adalah suri tauladan dalam hal kebaikan jiwa dan pengorbanan, suri tauladan dalam kerendahhatian dan kesabaran, suri tauladan dalam sopan santun berbicara, suri tauladan dalam keberanian dan kesabaran dalam menghadapi musuh. Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib RA, beliau berkata: “Ketika kami sangat sedih atau sedang sakit maka kami minta perlindungan kepada Rasulullah SAW. Tidak ada seorang pun yang lebih dekat dengan musuh daripada Rasulullah SAW.” (Muhammad Faraj, Bila: 273)
Sesuatu yang mengesankan dilakukan Umar bin Khattab RA dalam masa pemerintahannya. Bila Khalifah Umar mengeluarkan perintah untuk rakyatnya, beliau mengumpulkan keluarga dan anak-anaknya dan mengumumkan perintah tadi disertai ancaman jika mereka melanggarnya sehingga tidak ada alasan bagi orang-orang untuk melanggarnya. (Al-‘Iqad, 1969: 106) Tidak diragukan lagi akan kesesuaian tindakan pemimpin ini dengan apa yang dikatakannya. Mencontohkan hal itu pada prakteknya mempersiapkan lingkungan yang sehat untuk saling percaya antara pemimpin dan rakyatnya dan menambah kesempatan untuk saling memahami di antara mereka dan hal ini dengan sendirinya menghalangi orang-orang jahat yang ingin menghancurkan kekuatan masyarakat. Bertambahnya saling pengertian antara pemimpin dan rakyat juga mempererat hubungan mereka dan memperlancar tujuan-tujuan kepemimpinan tersebut.

E. Asas politik terbuka; jika manajemen modern mengeluhkan rusaknya hubungan di dalam (organisasi)-nya dan menderita penyakit dalam birokrasi dalam menjalankan urusannya, maka sesungguhnya manajemen Islam menetapkan langkah-langkah untuk mengatasinya dengan cara memudahkan komunikasi antara pemimpin dan bawah, dan memperbaiki semua jalan yang memungkinkan untuk mewujudkan hal itu. Rasulullah SAW bersabda: “Allah memperbaiki dan memberi nikmat pada para pemimpin yang mendengarkan kita dan menyampaikannya. Sesungguhnya banyak orang yang apabila disampaikan sesuatu kepadanya lebih paham dari orang yang menyampaikan.” (Ibnu Majah, Muqaddimah: 18; al-Bukhari, Fitan: 8, Ilm: 9, Haji: 133; al-Tirmidzi, Ilm: 7; al-Darimi: Muqaddimah: 34; dan Ahmad bin Hanbal: 5, 29, 45, 49, 72; Mu’jam Alfadz al-Hadits al-Nabawi Juz I cetakan Leiden, 1936: 316) Begitu pula dari wasiat-wasiat Umar RA bagi salah satu bawahannya: “Bukalah pintumu untuk mereka dan selesaikanlah urusan mereka olehmu sendiri secara langsung. Sesungguhnya kamu adalah bagian dari mereka, kecuali bahwa Allah menjadikan bebanmu lebih berat daripada beban mereka.” (Al-‘Iqad, 1969: 111)
Manajemen Islam pun memperhitungkan “kecacatan” hubungan dalam suatu organisasi, khususnya hubungan antara asas dengan nilai, karena itu para pemimpin Islam segera berkomunikasi dengan rakyat mereka untuk dapat mengetahui masalah-masalah mereka. Diriwayatkan bahwa Umar RA berkata, “Selama aku hidup, insyaallah aku akan menjalankan pemeliharaan negara karena sesungguhnya aku tahu bahwa orang-orang punya kebutuhan yang tidak bisa terpenuhi tanpa kehadiranku. Pegawai-pegawai mereka tidak menyerahkan perkara-perkara mereka kepadaku dan mereka tidak berkomunikasi denganku, lalu aku pergi ke Syam dan tinggal di sana selama dua bulan, lalu aku pergi ke Jazirah dan tinggal di sana selama dua bulan, lalu aku pergi ke Mesir dan tinggal di sana selama dua bulan, lalu aku pergi ke Kufah dan tinggal di sana selama dua bulan, lalu aku pergi ke Basrah dan tinggal di sana selama dua bulan, demi Allah inilah sebaik-baik tahun.” (Al-Syaikh Abdul Hayy al-Kattani, bila: 267)
Kesadaran ini telah berjalan dalam pribadi mayoritas kaum muslim dan mereka tidak kesulitan dalam mengadukan penindasan yang mereka alami kepada khalifah. Kisah al-Qibti dan Ibnu Amru bin al-Ash dan kisah Amir al-Ghassani Jablah ibnu al-Aiham dan orang Badui merupakan cerita yang terkenal begitu pula dengan para saksinya yang nyata mengenai komunikasi yang cepat antara pemimpin dan rakyatnya dan hakim yang cepat dalam menyelesaikan perkara-perkara yang dialami rakyat dan dalam menetapkan kebenaran. Manajemen Islam pun melakukan pembaharuan dengan mendirikan ديوان المظالم(departemen urusan kezhaliman; semacam lembaga perlindungan hak asasi rakyat) untuk melihat (menyelidiki/mengetahui) kezhaliman yang dialami rakyat dan menindak masalah tersebut. (Ali bin Muhammad al-Mawardi, 1357H: 66)

F.      Asas hubungan sesama manusia; hubungan antara pemimpin dan rakyat dalam Islam berdiri atas dasr kemanusiaan, maka tidak ada pemaksaan atau peninggian, tidak ada pula pembedaan dan perampasan hak milik. Rasulullah SAW adalah orang yang paling menjaga orang-orang mukmin. Allah berfirman:
لقد جاءكم رسول من ٲنفسكم عزيز عليه ما عنتّم حريص عليكم بالمؤمنين رءوف رحيم
   “Sungguh telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman.” (QS al-Taubah: 128)
Islam memberikan hak-hak asasi manusia dan menghargainya tanpa memandang kemuliaan, keturunan, kaya-miskin, maupun kedudukan dalam pekerjaannya. Manusia terhormat karena dua hal: pertama karena dia adalah manusia, dan kedua karena ketakwaannya. Allah berfirman:
يا ٲيها الناس ٳنا خلقناكم من ذكر و ٲنثى و جعلناكم شعوبا و قباءل لتعارفوا ۗۗ
  ٳنّ ٲكرمكم عند الله ٲتقاكم  
“Wahai manusia, sunguh Kami telah menciptakan kami dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.” (QS al-Hujurat: 13)
Dalam ayat di atas tidak dikatakan bahwa manusia terhormat karena kemuliaan keturunannya atau yang paling banyak hartanya atau yang paling tinggi martabatnya. Hal ini bukan sekedar semboyan yang dielu-elukan atau pemikiran yang kosong dalam praktek, akan tetapi memang benar-benar diterapkan dalam berbagai pemerintahan Islam. (Ali Abu Hilalah, malakah yang tidak disebarluaskan)
Al-Qur’an al-Karim telah menunjukkan dengan jelas mengenai pentingnya memperlakukan manusia secara manusiawi dengan didasari kasih sayang dan kelembutan. Allah berfirman dalam QS Ali Imran 159:
فبما رحمة من الله لنت لهم ۚۚ ولو كنت فظّا غليظ القلب لانفضّوا من حولك ۖ فاعف عنهم واستغفر لهم و شاورهم في اﻷمر ۚ فٳذا عزمت فتوكّل على الله ۗ ٳنّ الله يحب المتوكلين۰ 
“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan berusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad maka bertawakkallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakkal.”
Inilah sebagian dari asas-asas dalam manajemen yang jika kita mendalaminya kita akan menemukan akar-akar, prinsip-prinsip dan pemahaman-pemahaman yang lebih dulu dibandingkan pandangan manajemen modern dan bahkan lebih baik dari manajemen modern.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar